TRADISI
NYADRAN KALI DUSUN WARANGAN MAGELANG SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR
LAPORAN
MINI RISET
Di
Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen
Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI
Disusun
Oleh :
Qisthi
Nur Hidayah
(133311005)
TM
5B
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
“TRADISI
NYADRAN KALI DUSUN WARANGAN MAGELANG SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR”
I.
PENDAHULUAN
Tradisi
Nyadran Kali di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah merupakan tradisi turun temurun yang telah dilakukan sejak dulu sampai saat
ini. Tradisi Nyadran Kali tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar lereng
Merapi Dusun Warangan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta karena
telah diberikan nikmat sumber air yang tidak pernah habis untuk digunakan
sehari-hari. Sumber Air tersebut mengalir sangat deras dengan debit air sekitar
30 liter per detik. Hal tersebut dikatakan oleh Mas Handoko sebagai narasumber.
Sumber
Mata Air yang tidak pernah habis tersebut terdapat di Kali Puyam tepatnya di
Desa Jamusan yang berjarak sekitar 2,5 km dari Desa Muneng Warangan. Sedangkan
nama mata air tersebut adalah Mata air Puyam. Di sekitar mata air itulah
dilakukan Tradisi Nyadran Kali yang dipimpin oleh Mbah Jumo dengan melakukan
berbagai macam ritual yang kemudian diikuti oleh seluruh warga sekitar.
Selain
melakukan berbagai macam ritual, terdapat berbagai macam rangkaian tradisi yang
dilakukan seperti kenduri warga di rumah kepala dusun setempat dan pementasan
berbagai kesenian tradisional, antara lain soreng, warok, topeng ireng, pentas teatrikal,
musik eksploratif oleh Kelompok Jodokemil Magelang, dan ketoprak, serta masih
banyak lagi. Tetapi yang wajib dan sering dilakukan adalah tarian soreng oleh
para warga sekitar.
II.
LANDASAN
TEORI
A. Pengertian Tradisi dan Nyadran
Tradisi
adalah sebuah kata yang sangat akrab
terdengar dan terdapat di segala bidang. Tradisi
menurut etimologi adalah kata yang mengacu
pada adat atau kebiasaan yang turun
temurun, atau peraturan yang dijalankan
masyarakat. Secara
langsung, bila adat atau tradisi
disandingkan dengan stuktur masyarakat
melahirkan makna kata kolot, kuno,
murni tanpa pengaruh, atau sesuatu yang dipenuhi
dengan sifat takliq.
Tradisi
merupakan sinonim dari kata “budaya” yang
keduanya merupakan hasil karya. Tradisi
adalah hasil karya masyarakat, begitupun
dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi.
Kedua kata ini merupakan personafikasi dari
sebuah makna hukum tidak tertulis, dan
hukum tak tertulis ini menjadi patokan
norma dalam masyarakat yang dianggap baik
dan benar.
Tradisi
menurut terminologi, seperti yang dinyatakan oleh Siti Nur
Aryani dalam karyanya, Oposisi Pasca Tradisi, tercantum
bahwa tradisi merupakan produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial
politik yang keberadaannya terkait dengan manusia. Atau dapat dikatakan
pula bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang turun temurun,
yang terjadi atas interaksi antara klan yang satu dengan klan yang lain,
yang kemudian membuat kebiasaan-kebiasaan satu sama lain yang terdapat dalam
klan itu kemudian berbaur menjadi satu kebiasaan. Dan apabila interaksi yang
terjadi semakin meluas maka kebiasaan dalam klan menjadi tradisi atau
kebudayaan dalam suatu ras atau bangsa yang menjadi kebanggaan mereka.
Tradisi
merupakan segala sesuatu yang berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan.
Kemudian adat, kepercayaan dan kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran atau
paham–paham yang turun temurun dari para pendahulu kepada generasi–generasi
paska mereka berdasarkan dari mitos-mitos yang
tercipta atas manifestasi kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu
dilakukan oleh klan-klan yang tergabung dalam suatu bangsa.
Secara
pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi
berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan
personifikasi. Budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat
atas dasar kesepakatan bersama.
Kedua kata ini merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam
perwujudan ide, nilai, norma, dan hukum, sehingga keduanya merupakan dwitunggal.
Sedangkan Nyadran
berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya keyakinan.
Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya
di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang
artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang
berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi
nyadran dapat diartikan sebagai satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang
menggunakan sarana tertentu yang biasanya berwujud makanan besekan. Sementara makanan yang biasanya harus ada saat nyadran adalah berwujud ketan, kolak, serta apem.
B. Pengertian Ziarah dan Makam
Secara etimologi ziarah kubur terdiri dari dua kata
yaitu ziarah artinya pergi dan kubur artinya makam, jadi ziarah kubur artinya
adalah pergi kemakam.
Ziarah kubur merupakan satu dari sekian tradisi yang
ada di Jawa dan
berkembang di masyarakat Jawa. Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu
menyertai aktivitas ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ke kuburan
dianggap keramat sebenarnya ini terpengaruh Jawa-Hindu. Ziarah kubur sebenarnya adalah tradisi agama Hindu yang pada
masa lampau memuja terhadap roh leluhur. Candi pada awalnya adalah tempat abu jin\azah raja-raja
masa lampau dan para generasi selanjutnya mengadakan pemujaan di tempat itu.
Pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap sebagai titising dewa sehingga
segala sesuatu yang berhubungan dengan raja masih dianggap keramat termasuk
makam.
Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih
terbawa sampai saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ziarah kuburan
leluhur atau tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah
keunggulan atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi
masyarakat untuk mewujudkan keinginanya. Misalnya berziarah ke makan tokoh yang
pangkatnya tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi
pula.
Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara
umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan Ruwah menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat secara bersama-sama
satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan saudara terdekat melakukan
tradisi ziarah kubur. Kegiatan ziarah kubur ini secara umum disebut nyadran.
Kata nydran berarti selamatan (sesaji) ing papang kang kramat selamatan
(memberi sesaji) di tempat yang angker maupun keramat.
III.
KONDISI LAPANGAN
Telah
dijelaskan di pendahuluan bahwa Tradisi Nydran Kali dilakukan oleh warga Desa
Muneng Warangan sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta karena
telah diberikan sumber mata air yang selalu mengalir sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat saya melakukan wawancara dengan Mas
Handoko selaku narasumber, banyak informasi yang saya dapatkan dari beliau
mengenai Tradisi Nyadran Kali tersebut. Saya melakukan wawancara tersebut pada
tanggal 12 Desember 2015, tepatnya di rumah Mas Han doko yang terletak di Desa
Muneng Warangan tersebut. Mas Handoko ini adalah seorang seniman dan juga
seorang guru tari. Di rumahnya banyak terdapat hiasan-hiasan, foto-foto tentang
kesenian, lukisan-lukisan, alat musik, dsb. Selain seorang seniman beliau juga
seorang pengrajin. Saat saya melakukan wawancara dengan Mas Handoko tersebut
saya ditemani oleh Mas Andre yang juga seorang seniman. Dan Mas Andre inilah
yang mengantarkan dan menemani saya sampai saya di rumah Mas Handoko, karena
Mas Andre ini juga teman dekat dari Mas Handoko.
Saat
saya melakukan wawancara dengan Mas Handoko banyak informasi yang saya
dapatkan. Nyadran Kali merupakan suatu tradisi turun temurun sejak dulu sampai
saat ini. “Pertama kali dilakukan Nyadran Kali sekitar tahun 1970-an yang
dipimpin oleh Mbah Jumo”, Ujar Mas Handoko. Asal muasal dilakukannya Nyadran
Kali yaitu dulunya Desa Muneng Warangan ini kekurangan air kemudian pada suatu
malam Mbah Jumo mendapatkan wangsit atau mimpi yaitu beliau harus mengambil air
dari mata air Puyam di Kali Puyam Desa Jamusan. Kemudian beliau langsung
melakukan hal yang terdapat dalam mimpinya tersebut. Beliau pun mengambil air
dari Kali Puyam dan dialirkan ke Desa Muneng Warangan. Setelah mengambil air
dari Kali Puyam tersebut Mbah Jumo dan para warga harus melakukan berbagai
macam ritual sebagai ungkapan rasa syukur mereka sesuai apa yang ada di dalam
mimpi Mbah Jumo tersebut. Dan akhirnya pun dilakukan lah tradisi Nyadran Kali
tersebut.
Dalam
pelaksanaan Nyadran Kali tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu
1. Sebelum
melakukan Nyadran Kali, malamnya harus melakukan ritual terlebih dahulu di
makam.
2. Kemudian,
esok harinya prosesi pertama dilakukan di perempatan
3. Setelah
itu melakukan kirab menuju Mata Air Puyam yang jaraknya sekitar 2,5 km dari
Desa Muneng Warangan.
4. Seteelah
sampai di Mata Air, kemudian dilakukan ritual lagi yang dipimpin oleh Mbah
Jumo. Dalam ritual tersebut banyak sesajen yang disiapkan dan doa-doa yang
diucapkan kebanyakan dalam bahasa jawa.
5. Setelah
ritual selesai barulah dilakukan kesenian Soreng. Tarian Soreng dilakukan
sekitar 16-20 warga sekitar di depan mata air tersebut.
6. Kemudian
setelah tarian soreng dilakukan, semua warga termasuk Mbah Jumo kembali ke
rumah Pak Kadus. Dalam perjalanan pulang di setiap perempatan dan pertigaan
harus melakukan tarian soreng tersebut sampai rumah Pak Kadus.
7. Sesampainya
di rumah Pak Kepala Dusun dilakukanlah keduri oleh semua warga.
8. Kemudian
dilakukanlah berbagai macam pentas kesenian tradisional di rumah Pak Kadus
tersebut. Pertama, pentas dibuka dengan tarian Soreng, kemudian disusul dengan
pentas-pentas yang lain, dan yang terakhir ditutup dengan ketoprak.
9. Selesai
pementasan tersebut, kemudian Nyadran Kali ditutup dan diakhiri dengan ritual
menggunakan sesajen lagi.
Pelaksanaan
Nyadran Kali tersebut harus sesuai dengan urutan-urutannya yang telah
dijelaskan di atas. Dalam tradisi tersebut dihadiri oleh Kepala Bidang Kesenian
dan Nilai-Nilai Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupatenn
Magelang Achmad Husein, Sekretaris Desa Muneng Warangan Budi Santoso, dan
Kepala Dusun Warangan Ismadi. Rangkaian tradisi tersebut juga ditandai dengan
adanya kenduri warga di rumah pak Kadus setempat seperti yang dijelaskan di
atas, dan pementasan berbagai kesenian tradisional, antara lain soreng, warok,
topeng ireng, pentas teatrikal, musik eksploratif oleh Kelompok Jodokemil
Magelang dan ketoprak.
“Tradisi Nyadran Kali baru saja dilakukan hari
Rabu kemarin, tanggal 2 Desember 2015”, ujar Mas Handoko. Dan saya sudah
terlambat datang untuk lebih mengetahui tentang tradisi Nyadran Kali tersebut.
Dan saya hanya bisa mendapatkan informasi melalui wawancara dengan Mas Handoko,
saya tidak bisa melihat dan mendokumentasikan secara langsung tradisi Nyadran
kali tersebut.
Menurut
Mas Handoko Tradisi Nyadran Kali ini dilakukan setiap Bulan Sapar dalam
kalender Jawa, tepatnya setelah tanggal 15 Sapar, yaitu kalau tidak Rabu Kliwon
ya Minggu Kliwon. Dan kebetulan kemarin dilaksanakan pada hari Rabu, 2 Desember
2015.
Dalam
pelaksanaan Tradisi Nyadran Kali tersebut wajib diikuti seluruh warga sekitar
mata air Kali Puyam tersebut, dan per KK nya iuran 20 rb untuk pelaksanaan
Tradisi Nyadran Kali. Sumber mata air Kali Puyam tersebut hanya mengaliri
desa-desa disekitarnya, diantara nya adalah Dusun Jamusan, Desa Gumelem,
Kecamatan Pakis dan Dusun Kragilan, Desa Muneng Warangan. Sumber mata air
tersebut hanya digunakan untuk keperluan warga sekitar. Apabila ada orang lain
yang mengambil air tanpa seizin warga sekitar maka akan terjadi sesuatu pada
orang tersebut. ”Sumber mata air tersebut sangatlah dijaga kebersihannya oleh
para warga sekitar, tidak ada yang membuang kotoran di kali tersebut, dan juga
tidak boleh mencuci kuningan di kali tersebut. Bila itu dilakukan maka bisa
mati,” kata Mas Handoko.
Dan
sampai saat ini tradisi Nyadran Kali tersebut belum pernah dilanggar oleh para
warga, karena ditakutkan nantinya sumber air tersebut tidak akan mengalir lagi.
IV.
ANALISA
LAPANGAN
Setelah
saya melakukan wawancara langsung dengan narasumber dapat dianalisa bahwa
Tradisi Nyadran Kali warga Desa Muneng Warangan ini sangatlah kental dan
mengakar sampai saat ini. Selain tradisi Nyadran Kali tersebut masih banyak
tradisi-tradisi yang dilakukan oleh warga sebagai ungkapan rasa syukur mereka
kepada Yang Maha Kuasa. Diantara tradisi-tadisi tersebut antara lain Aum
Tandur, Aum Panen, Nyadran Makam, dll. Tradisi-tradisi tersebut masih dilakukan
sampai sekarang karena bila tidak dilakukan nantinya akan terjadi malapetaka
yang menimpa warga sekitar. Dengan kepercayaan mereka itu maka sampai sekarang
pun para warga masih melakukan tradisi-tradisi tersebut dengan sebaik mungkin
agar hidup mereka aman, damai, sejahtera, dan sentosa.
Sebenarnya
tradisi-tradisi tersebut sangatlah tidak masuk akal apabila hanya dilihat dari
satu sisi. Namun pada kenyataannya tradisi yang dilakukan para warga tersebut
sangatlah sakral dan apabila tidak dilakukan akan ada malapetaka yang terjadi,
contohnya saja Nyadran Kali. Mas Handoko pun mengatakan bahwa, pada suatu hari
ada seorang penjual bakso yang mengambil air dari mata air Puyam tanpa
sepengetahuan warga dan tanpa izin. Kemudian air tersebut digunakan untuk
merebus air baksonya. Namun yang terjadi adalah air bakso tersebut tidak
mendidih dan baksonya pun tidak matang, sehingga bakso-bakso si penjual bakso
itupun tidak laku. Dan hal itu sudah menjadi suatu kepercayaan bagi para warga
sekitar mata air Puyam tersebut. Mereka pun sangat menjaga mata air Puyam
tersebut dengan sebaik mungkin dan tersu melakukan Tradisi Nyadran Kali sebagai
ungkapan rasa syukur mereka.
Dan
dapat dianalisa juga bahwa Desa Muneng Warangan ini masih sangat kental dengan
tradisi-tradisi kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang dan masih
dilestarikan sapai saat ini.
V.
MAKAM
MBAH KYAI KRAPYAK 1 (SANTREN)
Saya
melakukan wawancara dengan Bapak Bambang selaku narasumber pada hari Rabu,
tanggal 12 Desember 2015 mengenai makam Mbah Kyai Krapyak 1 ini. Saya
melakukan wawancara dan observasi ke makam tersebut setelah saya melakukan
wawancara mengenai tradisi Nyadran Kali yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Setelah
saya melakukan wawancara dengan Bapak Bambang, banyak informasi yang saya
dapatkan mengenai makam Mbah Kyai Krapyak yang terkenal di daerah Santren,
Gunung Pring, Muntilan, Magelang ini. Berikut ini akan dijelaskan sedikit
silsilah mengenai mbah Kyai Krapyak 1 ini.
Menurut
informasi yang saya dapatkan dari Bapak Bambang, bahwa terdapat 2 jalur
silsilah, yang pertama yaitu melalui jalur Ki Ageng Pemanahan yang mempunyai 2
anak yaitu Panembahan Senopati yang menjadi Raja Mataram pada tahun 1500 M dan
Raden Santri. Karena Raden Santri ini memiliki sifat yang aneh sejak kecilnya
maka yang dijadikan Raja Mataram adalah Panembahan Senopati, sedangkan Raden
Santri memilih untuk pergi berdakwah, meskipun sebelumnya beliau juga pernah
menjadi Panglima Perang dari Panembahan Senopati. Setelah itu, Panembahan
Senopati memiliki anak yaitu Raden Mas Jolang (Pangeran Sedo Krapyak). Pangeran
Sedo Krapyak ini memiliki 2 anak laki-laki dari istri yang berbeda. Anak yang
pertama yaitu Raden Mas Wuriah yang terkenal dengan Simbah Kyai Krapyak.
Sedangkan anak keduanya yaitu Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Sebelumnya
Pangeran Sedo Krapyak pernah berjanji, jika ia mempunyai anak laki-laki maka
akan dijadikannya raja, dan ternyata ia memiliki 2 anak laki-laki. Dan yang
dijadikan raja yaitu Raden Mas Wuriah karena ilah anak laki-laki pertamanya.
Namun, Raden Mas Wuriah ini hanya menjadi raja sehari karena sifatnya yang
sangat berbeda dengan orang lain. Karena hal itu, maka Raden Mas Wuriah pun
digantikan oleh Raden Mas Rangsang, dan kemudian beliau dititipkan kepada
kakeknya yaitu Simbah Raden Santri. Di sana beliau belajar banyak ilmu agama,
dan akhirnya beliau menjadi seorang Auliya’ (Wali Allah) karena dari kecil
sifatnya memang sudah berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Beliau memiliki
banyak santri yang setia dan selalu taat padanya. Kemudian Raden Mas Wuriah
atau yang terkenal dengan Mbah Kyai Krapyak 1 ini dimakamkan di Santren. Dan di
sana terdapat Masjid Kyai Krapyak 1 yang merupakan Masjid Tiban / hadiah
(hibah) dari Sultan Agung kepada Mbah Kyai Krapak. Masjid tersebut terletak
bersebelahan dengan Makam Mbah Kyai Krapyak 1 yang berada di daerah Santren,
Gunung Pring, Muntilan, Magelang.
Untuk
jalur yang kedua yaitu melalui Amangkurat Mas memiliki anak bernama Mbah Hasan
Tuko (Raden Mas Kemuning) yang dimakamkan di Godean kemudian punya anak Mbah
Abdul Rouf Watucongol yang dimakamkan di belakang Santren kemudian punya anak
Abdul Rohman yang dimakamkan di Gunung Pring kemudian mempunyai anak Mbah
Dalhar Watucongol yang dimakamkan di Gunung Pring, kemudian punya anak Mbah Mad
Watucongol yang dimakamkan di belakang Santren. Untuk jalur yang kedua ini
tidak begitu akurat.
Makam
Mbah Kyai Krapyak ini dijadikan tempat ziarah bagi warga sekitar, masyarakat
umum, para kyai dan santri, serta pengikut-pengikutnya. “Saat berziarah mereka
bertabarukan (ngalap berkah) dengan cara berwasilah/tawasul kepada Allah SWT
dengan perantara orang yang dikasih Allah (Wali Allah)”, ujar Pak Bambang.
Makam
Mbah Krapyak ini sangatlah ramai dikunjungi pada bulan Syawal dan sepi
pengunjung saat bulan Ramadhan. Para peziarah datang berbondpng-bondong untuk
berziarah, dengan cara berdoa, membaca Al-Quran, tahlil, menharapkan berkah
dari Allah SWT.
VI.
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Setelah
melakukan wawancara langsung dengan Mas Handoko mengenai Tradisi Nyadran Kali
di Dusun Warangan Desa Muneng Warangan Kab. Magelang Jawa Tengah, maka dapat
disimpulkan bahwa warga sekitar melakukan tradisi tersebut sebagai ungkapan
rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta. Para warga sangat menjaga dengan
hati-hati sumber mata air Puyam yang menjadi sumber kehidupan mereka
sehari-harinya. Tanpa adanya sumber air tersebut mungkin selamanya mereka akan
kekurangan air. Maka dari itu, mereka sangatlah menjaga sumber mata air
tersebut dengan melakukan tradisi Nyadran Kali yang sudah menjadi tradisi turun
temurun dari nenek moyang.
Selain
Tradisi Nyadran Kali, tradisi berziarah juga merupakan hal yang sangat kental
dilakukan oleh umat muslim. Mereka melakukan ziarah untuk mendapatkan berkah
dari Allah SWT dan juga sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Jadi,
terdapat keterkaitan antara tradisi budaya Jawa dengan tradisi Islam yaitu
sama-sama dilakukan untuk mendapatkan berkah dari Sang Pencipta dan sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Sang Pencipta, meskipun dilakukan dengan cara yang berbeda.
Semoga
laporan yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi
penulis. Dan penulis sangat mengharapan kritik dan saran yang membangun dari
para pebaca untuk memperbaiki tulisan-tulisan penulis selanjutnya. Terimakasih.
VII.
DAFTAR
PUSTAKA
VIII. BIODATA MAHASISWA
Nama : Qisthi Nur Hidayah
Kelas : TM 5B
NIM : 133311005
Prodi : MPI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan
TTL : Pekalongan, 24 Februari 1995
Alamat
: Perumnas Kalinegoro, Jl. Manggis 1
no 13, Kec. Mertoyudan, Kab.
Magelang, Jawa Tengah.
Riwayat
Sekolah : SD N Kalinegoro 3 Mgelang, MTs N
Magelang, SMA N 4 Magelang.
Blog
: Qisthinur.blogspot.com
No.
Hp : 089631305622
IX.
LAMPIRAN
Tradisi
Nyadran Kali (sejumlah warga membawa nasi tumpeng)
Silsilah Mbah
Kyai Krapyak 1 (Santren)
Masjid dan Makam Mbah Kyai Krapyak 1
(Santren)
Drs. Abdul Syani, Sosiologi dan
Perubahan Masyarakat, Cet-1.Dunia Pustaka Jaya, 1995, hlm. 53.