INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK SASTRA DAN ASPEK
PEWAYANGAN
MAKALAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI
Disusun Oleh :
1.
Nur
Aslimah (133211026)
2.
Faridatul
Hidayah (133211028)
3.
Qisthi
Nur Hidayah (133311005)
4.
Soya
Anggisya Iqbi (133311010)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kebudayaan yang berkembang di Jawa sangatlah beragam, hal itu tidak lepas
dari pengaruh agama-agama yang masuk ke Indonesia pada abad pertengahan, yaitu
Hindu, Budha dan Islam. Jika dilihat dari keberhasilan asimilasi budaya yang
terjadi, Islam dipandang jauh lebih sukses berasimilasi dari pada Hindu dan
Budha yang masuk lebih awal. Hal itu karena cara mereka yang lebih halus dalam
menyebarkan agama sekaligus Islam tidak mengenal kasta.
Sarana penyebarannya pun mengikuti budaya dan tradisi yang telah berakar
pada masyarakat Jawa tanpa harus menghilangkan nilai-nilai keIslamannya yang
kental. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam bidang kesenian, kekentalan
pengajaran moral Islam yang disisipkan dengan halus dalam tembang macapat,
tembang-tembang dolanan dan bahkan dalam kesenian wayang. Interelasi nilai Jawa
dan Islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian khas dari proses
perkembangan budaya di Jawa.
Melihat permasalahan tersebut penulis dalam makalah ini akan
memaparkan mengenai interrelasi Islam dan budaya Jawa dalam aspek sastra
dan pewayangan.
B. RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
pengertian dan jenis-jenis sastra?
B.
Bagaimana
gambaran karya sastra di Jawa?
C.
Bagaimana
sejarah perkembangan sastra Jawa?
D.
Bagaimana
interelasi Islam dan Jawa dalam aspek sastra?
E.
Bagaimana
sejarah pewayangan di Jawa?
F.
Apa
saja jenis dan unsur yang terkandung dalam pertunjukan wayang?
G.
Bagaimana
interelasi Islam dan Jawa dalam aspek pewayangan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Jenis Sastra
1.
Pengertian Sastra
Kata sastra berasal
dari bahasa Sansekerta. Akar katanya cas yang berarti memberi
petunjuk, mengarahkan, mengajar. Akhiran tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh karena
itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
instruksi atau pengajaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sastra
dituliskan sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di dalam
kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Kesustraan, karya tulis yang jika
dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri-ciri keunggulan seperti
keaslian, keartistikan, keindahan didalam isi dan ungkapannya, ragam sastra
yang dikenal umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epic,
lirik. Kitab suci (Hindu), kitab (ilmu pengetahuan). Pustaka; kitab primbon
(berisi ramalan). Dan tulisan atau huruf.
Menurut Abdul Rozak Zaidan, Anita K Rustapa dan Haniah
memuat kata sastra secara umum diartikan tulisan dalam arti yang luas. Umumnya
sastra berupa teks rekaan baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada
kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa. Menurut Panuti Sudjiman menuliskan
bahwa sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan
ungkapannya.
2. Ciri-ciri Sastra
a.
Sastra merupakan sebuah
ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama
merupakan suatu luapan emosi yang spontan.
b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain.Sastra tidak
bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya
sendiri.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.
d. Sastra menghidangkan sebuah antithesis antara hal-hal yang bertentangan.
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk
sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan kondisi.
3. Jenis-jenis Sastra
a. Puisi
Puisi berasal dari
bahas Yunani yang juga bahasa latin poites (latin poeta).
Mula-mula artinya pembangun, pembentuk, pembuat. Asal katanya poieo atau poio atau poeo yang
artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Arti mula-mula itu
lama-kelamaan semakin dipersempit menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya
disusun menurut irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia (KBBI), puisi dimaknai sebagai ragam sastra yang bahasanya
terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan.
b. Cerita Rakyat
Cerita Rakyat merupakan
salah satu cerita rekaan atau fiksi yang sudah tua usianya. Contoh cerita
Panji adalah cerita hasil sastra Jawa yang sangat digemari oleh orang
Indonesia, terutama orang Jawa dan Bali. Cerita ini berisi pengembaraan dan peperangan.
c. Drama
Karya sastra yang
berbentuk drama ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh dan dapat dinikmati
melalui sebuah pementasan.[1]
B. Gambaran Karya Sastra di Jawa
Telah diuraikan bahwa puisi merupakan karya sastra
yang paling tua, demikian pula karya sastra yang ada di Jawa, puisi merupakan
karya sastra yang paling tua yang lazim disebut dengan mantra. Setelah mantra,
muncul karya sastra yang lain, diantaranya parikan dan wangsalan.
Setiap tradisi di
setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan
hal-hal gaib seperti mantra. Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi
di Indonesia adalah pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukan ikatan yang
kuat dalam strukutur kebahasaan.
Dalam tradisi budaya
Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan
wangsalan. Parikan merupakam puisi berupa pantun model Jawa, yang
hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut dengan sampiran.
Sementara itu, dalam wangsalan, dua baris pertama tidak hanya merupakan saran
bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.[2]
C. Sejarah Perkembangan Sastra Jawa
Perkembangan sastra
Jawa mengarungi perkembangan peradaban masyarakat Jawa selama menghadapi hidup
dan kehidupannya. Dalam perkembangannya, sastra Jawa dibagi menjadi empat
tahap: Sastra Jawa Kuno, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Jaman Islam, dan
Sastra Jawa Jaman Surakarta Awal.
1. Sastra Jawa Kuna
Menurut Linus Suryadi, Jawa Kuna ini disebut zaman “renaisan Jawa I” antara abad 8
sampai 15 M, yaitu Jawa, Budha dan Jawa Hindu, mungkin mulai abad 1 M (Linus
Suryadi AG,1995:5). Pada zaman Hindu kesusastraan Jawa Kuna ditulis dalam
bahasa Kawi dan aksara Jawa Kuna. Puncak perkembangan sastra pada periode ini
berlangsung pada zaman kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M), dilanjutkan
dengan zaman kerajaan Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M)
(Linus Suryadi AG,1995:6).
2. Sastra Jawa Tengahan
Menurut Linus Suryadi
AG Jawa Madya atau Jawa Tengahan ini disebut zaman Reinaisan II (Linus Suryadi
AG,1995:5). Sastra Jawa Tengahan ini terjadi pada zaman purba. Pada zaman ini
sejalan dengan pikian masyarakat Jawa yang mangagungkan raja sebagai orang yang
berkuasa atas segala isi di jagad raya ini (Dojosantoso, 1989:29).
3. Satra Jawa Zaman Islam
Seni sastra zaman Islam
yang berkembang di Indonesia sebagian besar mendapat pengaruh dari Persia,
seperti cerita-cerita tentang Amir Hamzah, Bayan Budiman, 1001 malam, dan
sebagainya. Seni sastra yang muncul pada zaman Hindu disesuaikan
perkembangannya dengan keadaan zaman Islam. Diantara seni sastra tersebut
antara lain Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra digubah menjadi Hikayat
Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Sri Rama, Hikayat Maharaja
Rahwana, Hikayat Pancatantra.
Disamping seni sastra
tersebut di atas, juga terdapat kitab-kitab suluk (kitab-primbon). Kitab-kitab
ini bercorak magis dan berisi ramalan-ramalan dan penentu hari-hari baik dan
buruk, serta pemberi-pemberian makna terhadap suatu kejadian.
4. Sastra Jawa Zaman
Surakarta
Pada zaman kerajaan
Surakarta awal, sastra Jawa mengalami zaman keagungannya. Banyak sekali hasil
sastra yang diciptakan dan isinya pun beragam pula. Menilik isi yang dikandung
sebagian hasil sastra pada zaman tersebut mencerminkan sinkritisasi
Jawa-Hindu-Budha-Islam yang nampak semakin berimbang. Unsur religius selalu
terdapat dalam semua karya sastra waktu itu. Sastra Jawa mengalami zaman
keemasan dengan pujangga pertama keraton kasunanan Surakarta Adiningrat yaitu
R. Ng. Yasadipura I. Diantara karyanya adalah “Babad Giyanti”. Dalam babad ini
diceritakan kekuasaan Sinuwun Pakubuwana II yang memerintah Kerajaan Kartasura
dengan wibawa, bijaksana, dan gagah berani.[3]
D. Interelasi Islam dan Jawa dalam Aspek Sastra
Karya sastra yang
berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak
hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi
(lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan
syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra dipakai
untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan
dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk
mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah
dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[4]
Selain mantra, karya
sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah
pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun,
tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama
dengan struktur pantun dan syair.
Dalam tradisi jawa,
karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.[5]
Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran
bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan
berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan
teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya,contohnya :
Wangsalan :
Jenang sela (apu)
Wader kali sesonderan
(sepat)
Apuran to
Yen wonten lepat kawula
Wangsalan sendiri
memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah
tembang
Sinom :
Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem
wangi
Kayu malang munggen
wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira
nglayung
oya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing
wit
Edanira tan waras
dening usada
Parikan :
Tjengkir wungu ,
wungune ketiban ndaru.
Wis pestimu, kowe pisah
karo aku
Istilah
interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan
Jawa diislamkan. Keterkaitan antara
Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat pembangunan
moral. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan
puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai
petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang
bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut
jelas beragama Islam.[6]
Kualitas keislaman para
pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang
ini,karena pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum banyak
seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para
pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-Islaman
dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Sedangkandalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam
karya sastranya untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat
banyak mengembangkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan
pengenalan ajaran islam. Dan semua karya sastra jawa baru yang sering
digunakan pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita,
dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/macapat) dalam menyusun
karya-karya sastranya.[7]
Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan
dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu
Majapahit.
Walaupun
demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu :
1. Unsur ketauhidan (upaya
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2.
Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh
karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru :
1. Karya-karya
sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
a. Serat
warganya (1784),
memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
b. Serat wirawiyata, memakai tembang
sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
c. Serat sriyatna, memakai tembang
dhandanggula (15 bait),
d.
Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur
(12bait),
e.
Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan tembang
pucung (11 bait),
f. Serta seloka tama (1799), memakai
tembang mijil (31 bait),
g. Serat dharmalaksita (1807),
memakai tembang dhandanggula (12 bait), tembangkinanthi (18 bait) dan tembang
mijil (8 bait),
h. Tembang triparma, memakai tembang
dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
i. Serat wedhatama, memakai tembang
pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur(14 bait) dan sinom (18 bait).
2. Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
a. Serat katalida, memakai tembang sinom
(2 bait)
b. Serat sabjati, memakai tembang
megathruh (19 bait)
c. Serat sandhatama, memakai tembang
gambuh (22 bait)
d. Serat wedharaga, memakai tembang
gambuh (38 bait)
3. Karya sastra
Susuhunan Pakubuwana IV :
a. Sastra
wulangeh,
yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi(16 bait), gambuh
(17bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh(17 bait), druma
(12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom
(33 bait) dan girisa (12 bait).
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya
sastra Jawa baru diantaranya :
1. Masalah
Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan
implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki
prajurit menghadapi era globalisasi yang akan membentuk moral manusia,
yang akan melahirkan generasi yang handal dan memiliki kemampuan daya saing
tinggi.
2.
Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam SeranayaKawara, dengan
implementasi, mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri
kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
3.
Memiliki moral yang baik, dalam serat Selokatama, dengan
implementasi, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah,
karena dengan perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang
jahat.[8]
Dalam sastra jawa yang
dipakai adalah satra pujangga keraton surakarta yang memiliki mentrum Islam,
yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandhanggula, pangkur,
maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh. Maksud dari keterkaitan antara Islam
dan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral.
Pada zaman kontemporer karya-karya Jawa Islami sulit ditemukan karena kebanyakan
pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang islami. Kebanyakan mereka membuat
karya-karya sastra yang njawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami
belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang njawani.Tetapi walaupun demikian, masih ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya
lewat tembang macapat dengan warna islami. Diantara contohnya adalah Tembang Pocung “Bektiya Mring
Pangeran”, dan Tembang Gambuh “Bektiyo Marang Wong Tuwamu”.
E.
Sejarah Pewayangan di Jawa
Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan.
Arti harfiah dari pertujukan wayang adalah berarti bayangan-bayanga. Arti
filsafat yang lebih dalam adalah bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan
manusia tentang kehiduapan manusia masa lalu.
Penulisan yang lengkap tentang asal-usul wayang adalah disertasi Hazeu
berjudul Bijdrage tot de kennis van het javaansche toneel. Disertasi akademik
ini dipertahankan di universitas Leiden pada tanggal 30 Januari 1897. dalam
disertasi ini telah dikomparasikan beberapa pendapat para sarjana tentang
asal-usul wayang. Hazeu mengambil pendapat dari Crawfurt, bahwa orang jawa pada
masa pra sejarah telah menemukan drama Polynesia, termasuk oleh Raden Panji Inu
Kerta Pati pada abad XII, sebuah ciptaan yang muncul pada kejayaan agama
hidu. Menurut pendapat Vert, adanya suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri
bahwa kesenian wayang dan gamelan asal jelas terdapat pengaruh dan bantuan
hindu. Menurut pendapat Nieman bahwa orang hindu mempunyai jenis pertunjukan
(teater) yang sama sekali berbeda dengan pertunjukan wayang. Pada hakekatnya
teater India berbeda dari teater jawa. Istilah teknis pada pertunjukan wayang
adalah khas jawa bukan sansekerta. Jadi wayang asal usulnya tidak mungkin dari
India.
Dalam disertasinya Hazeu memberikan suatu kesimpulan bahwa untuk mengetahui
asal-usul wayang, haruslah dianalisis dari sarana pentasnya bukan dari karya
kecir, kotak, keprak, ilalang dan lainnya semua istilah asli jawa, bukan
istilah asing atau India. Hazeu menarik kesimpulan bahwa asal-usul wayang
adalah asli jawa, tentang pengaruh dari budaya asing sesudah masa itu tentunya
pasti ada. Pengaruh ini akan membuat wayang semakin berkembang di masa
selanjutnya.
Menurut Ir Sri Mulyono pada masa dua ribu tahun sebelum masehi, nenek
moyang orang Jawa tealah mengenal budaya melayu-polynesia. Salah satu bagian
kebudayaan ini adalah petunjukan bayang-bayang. Pertunjukan ini berisi
Shamanisme kan berfungsi sebagai pemujaan Hyang. Dalam kurun waktu yang cukup
lama dan secara evolusi pertunjukan ini berubah bentuk menjadi pertunjukan
wayang kulit yang masih sederhana. Berulah kira-kira 600 tahun sebelum masehi
mulai berkembang agama Hindu di Indonesia. Wayang kulit yang belum mencapai
bentuknya terpengaruh dan digunakan oleh kepentingan agama Hindu dan Budha
sebagai pertunjukan yang bersifat ritual, magis relegius dan pendidikan moral.
Pertunjukan wayang kulit dari masa prahindu yang masih lestari fungsinya adalah
pertunjukan wayang kulit untuk upacara rawatan upacara-upacara penyembelihan
roh nenek moyang di masa sekarang diketahui dari beberapa fungsi ritual wayang
kulit yang masih sering diselenggarakan adalah pertunjukan upacara bersih desa
dan ruwetan.
Kembali tentang asal-usul wayang kecuali untuk kepentingan penelitian
ilmiah, sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempersoalkan apakah wayang itu
asli ciptaan orang jawa ataukah contekan dari kebudayaan lain. Yang penting
sekarang adalah bagaimana kita memanfaatkan dan membina serta mengembangkan
kekayaan budaya jawa ini unukt memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya jawa
tetapi Indonesia bahkan dunia, bagai mana kita mengembangkan wayang ini untuk
umat manusia untuk memayu hayuning bawana.[9]
F.
Jenis dan Unsur yang Terkandung dalam Pertunjukan Wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau-pulau
jawa, bali, lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-lainnya, Baik yang masih
populer maupun yang hampir atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan
atau dimusiumkan, menjelang akhir abad yang lalu seseorang Belanda yang menjadi
Direktor Museum Etnografi di Leiden, yaitu Prof Dr. L Serrurior mengadakan
peneliitan angket tentang jenis-jenis wayang di pulau jawa, dan hasil
penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul De Wajang Poerwa. Dalam
buku itu disebut jenis-jenis wayang yang pada masa itu dikenal di pulau jawa,
yaitu wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang jumbling, wayang
(Kelithik) wayang Keruai (kruai) wangan Langendria, wayang Pegon, wayang Porwo,
wayang Puwara, wayang Sasak, wayang Topeng dan wayang Wong atau Wayang Orang.
Dari semua jenis wayang itu yang
paling terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya adalah
wayang purwa, yaitu jenis pertunjukan wayang kulit, dengan lakon-lakon yang
mula-mula bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India yaitu Ramayana dan
mahabarata meskipun jenis pertunjukan ini berasal dari jawa dan telah terkenal
di jawa Timur pada masa pemerintahan Raja Airlangga dalam abad 11.
Unsur dalam pertunjukan pewayangan
diantara lain :
1.
Dalang : orang yang memainkan
wayang. Dalang bertugas sebagai pemimpin pertunjukan.
2.
Pengrawit/wiyaga : orang yang
memainkan gamelan, guna mengiringi pertunjukan pewayangan.
3.
Sinden/swarawati : orang yang
bertugas sebagai penyanyi.
4.
Penyanyi : orang yang menyanyikan
lagu-lagu modern. Ini termasuk tambahan atau bintang tamu.
5.
Pelawak : orang yang melucu dalam
pertunjukan wayang, pelawak juga termasuk tambahan dalam pertunjukan wayang.
6.
Gamelan : alat musik jawa yang
berlaras pelog dan slendro berfungsi untuk mengiringi pertunjukan wayang.
7.
Panggung : tempat yang agak tinggi
yang terbuat dari papan untuk menaruh peralatan wayang dan gamelan. Panggung
bukan kebutuhan yang pokok karena pada hakikatnya pertunjukan bisa dilakukan
dimana saja asalkan tempatnya cukup dan nyaman.
8.
Soundsistem : peralatan elektronik
untuk mengeraskan suara dalang dan gamelan.[10]
G.
Interelasi Islam dan Jawa dalam Aspek Pewayangan
Prof. K. MZ. Machfoel pernah
menguraikan tentang makna punakawan, yakni Semar, Nala Rareng, Petruk dan
Bagong ke 4 (empat) figur nama-namanya sama sekali tidak terdapat dalam epos
Hindu Ramayana dan Mahabrata sebagai sumber cerita pewayangan aslinya. Munculnya figur punakawan tersebut merupakan hasil Wali sanget tiniton
untuk memperagakan serta mengabadikan fungsi wathak, tugas konsepsional
Walisongo dan para mubaligh islam menurut pendapatnya nama Semar, Nala Gareng
Petrok dan Bagong bukan merupakan sebutan bahasa Jawa kuno, tetapi berasal dari
bahasa arah sebagaimana nama:
Semar dari Ismar
Nala Gareng dari Naala Qarun
Petruk dari Fatruk
Bagong dari Baghao
Kata Islam oleh lidah Jawa diucapkan Semar dari kebiasaan “is” beruban
menjadi “se” contohnya Istanbul menjadi setambul. Ismar adalah paku, berfungsi
sebagai pengokoh yang goyah. Ibarat ajaran Islam didakwahkan para Walisongo
diseluruh kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang ada pergolakan dengan
berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh Rakden Patah. Hal senada sesuai
dengan hadits al-Islamu Ismaruddunya yang berarti Islam adalah pengokoh (paku
pengokoh) keselamatan dunia. Nala Qoriin oleh pengucapnya lidah Jawa
menjadi Nala Gareng yang berarti memperoleh banyak teman dan tugas konsepsional
para Walisongo sebagai juru dakwah (da’i) ialah untuk memperoleh
sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali kejalan Tuhan dengan sikap arif dan
harapan yang baik.
Fatruk oleh pengucapan lidah Jawa menjadi Petruk. Kata tersebut merupakan
kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi
Fat-ruk kaila maa siwallahi, yang artinya tinggalkan semua apapun yang selain
Allah wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribumi para Wali dan mubaligh
pada waktu itu.baghoa oleh pengucapan lidah Jawa menjadi Bagong yang berarti
berontak yaitu berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran suaru tindakan anti
kesalahan. Dalam kata bago’ (arab) yang berarti kekal langgeng artinya semua
makhluk nantinya di akhirat mengalami hidup kekal. Ditinjau dari makna serta
isi nilai wayang jelas bahwa punakawan adalah bentuk lambang visualisasi dari
ide masyarakat Jawa. Masyarakat pemggemar wayang mengerti bahwa manusia sebetulnya
memerlukan pemomong dalam peejalanan hidup.
Bukan kekuatan manusia yang menyelamatkan dan mendekatkan diri pada Tuahn,
melainkan bimbingan yang pada akhirnya berasal dari Tuhan juga. Manusia harus
menyadari bahwa masing-masing dirinya lemah dan memerlukan perlindungan. Tanpa
bimbingan Tuhan manusia akan tersesat.
Interelasi nilai dan islam dalam
aspek wayang merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan
budaya Jawa. Wayang merupakan suatu produk budaya manusia yang didalamnya terkandung
seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntutan kehidupan. Dalam
dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi
dan mengatasi segala tantangan dalam kehiduan.
Wayang mengajarkan filsafat laku
yang bersumber dari rasa dan hati nurani manusia yang paling dalam, sehingga
ruang humanisme semakin terbuka di dalamnya, manusia diupayakan untuk mencintai
seluruh makhluk yang ada diatas bumi ini. Karena manusia menjadi seorang
pengelola diatas bumi ini yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan semua
dengan baik. Wayang sekarang tidak hanya milik orang Jawa, namun sudah menjadi
kebanggaan bangsa Indonesia.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal
yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra Jawa
secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para
pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup
budaya Jawa. Sastra bisa berbentuk
puisi, prosa, dan drama. Diantara contoh karya sastra Jawa dengan metrum
Islam adalah Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula,
Pangkur, Maskumambang, Durma, Gatruh, dan Megatruh.
Wayang adalah
sebuah wira carita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang
berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berbuat jahat. Diantara
jenis-jenis wayang adalah wayang kulit, golek, wong, dan klitik. Ajaran Islam
yang masuk tanpa kekerasan dan bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan
lama yang telah ada mempengaruhi wujud dalam seni yaitu seni pertunjukan
khususnya wayang.
B. SARAN
Demikianlah
makalah yang dapat penulis sampaikan. Kepada para pembaca, penulis menyadari
banyaknya kekurangan dari penulisan makalah ini. Oleh karena itu disarankan
kepada seluruh pembaca, supaya mencari dan membaca referensi-referensi lain
yang terkait dengan materi. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan yang
salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
[1]
http://lianalin.blogspot.co.id/2015/06/interrelasi-islam-dan-budaya-jawa-dalam.html,diakses, pada hari jum’at 25/09/2015, pukul 19.00 WIB.
[2] http://denikresnawati.blogspot.co.id/2013/04/interelasi-islam-dan-jawa-dalam-sastra.html,diakses
pada hari jum’at 25/09/2015, pukul 19.00 WIB.
[4]
A. Jamil, dkk, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 144.
[5]
Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 375-376.
[6]
http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html.diakses pada hari jum’at,
25/09/2015,pukul 19.00 WB.
[8] M. Darori Amin, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 151.
[9]http://waromuhammad.blogspot.co.id/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam dalam_02.html,diakses pada hari
Minggu 27/09/15,pukul 7:22 WIB.
[10] https://puthutnugroho.wordpress.com/2014/08/26/unsur-unsur-dalam-pertunjukan-wayang-kulit-purwa/,diakses pada hari
Minggu 27/09/15,pukul 7:59 WIB.
[11]http://waromuhammad.blogspot.co.id/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam_02.html,diakses pada hari
Minggu 27/09/15,pukul 8:20 WIB.
DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama
Media, 2000
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, Jakarta: PT.
DuniaPustaka Jaya, 1981
M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2000
Shodiq.
Potret Islam Jawa, Semarang: PT. Pustaka Rizki, 2013