Minggu, 04 Oktober 2015

Makalah Islam dan Budaya Jawa

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK SASTRA DAN ASPEK PEWAYANGAN
MAKALAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI


Disusun Oleh :
1.      Nur Aslimah                (133211026)
2.      Faridatul Hidayah       (133211028)
3.      Qisthi Nur Hidayah   (133311005)
4.      Soya Anggisya Iqbi    (133311010)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015


BAB 1
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Kebudayaan yang berkembang di Jawa sangatlah beragam, hal itu tidak lepas dari pengaruh agama-agama yang masuk ke Indonesia pada abad pertengahan, yaitu Hindu, Budha dan Islam. Jika dilihat dari keberhasilan asimilasi budaya yang terjadi, Islam dipandang jauh lebih sukses berasimilasi dari pada Hindu dan Budha yang masuk lebih awal. Hal itu karena cara mereka yang lebih halus dalam menyebarkan agama sekaligus Islam tidak mengenal kasta.
Sarana penyebarannya pun mengikuti budaya dan tradisi yang telah berakar pada masyarakat Jawa tanpa harus menghilangkan nilai-nilai keIslamannya yang kental. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam bidang kesenian, kekentalan pengajaran moral Islam yang disisipkan dengan halus dalam tembang macapat, tembang-tembang dolanan dan bahkan dalam kesenian wayang. Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian khas dari proses perkembangan budaya di Jawa.
Melihat permasalahan tersebut penulis dalam makalah ini akan memaparkan mengenai interrelasi Islam dan budaya Jawa dalam aspek sastra dan pewayangan.

B.  RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian dan jenis-jenis sastra?
B.     Bagaimana gambaran karya sastra di Jawa?
C.     Bagaimana sejarah perkembangan sastra Jawa?
D.    Bagaimana interelasi Islam dan Jawa dalam aspek sastra?
E.     Bagaimana sejarah pewayangan di Jawa?
F.      Apa saja jenis dan unsur yang terkandung dalam pertunjukan wayang?
G.    Bagaimana interelasi Islam dan Jawa dalam aspek pewayangan?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Jenis Sastra
1.      Pengertian Sastra
Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Akar katanya cas yang berarti memberi petunjuk, mengarahkan, mengajar. Akhiran tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sastra dituliskan sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Kesustraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri-ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan didalam isi dan ungkapannya, ragam sastra yang dikenal umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epic, lirik. Kitab suci (Hindu), kitab (ilmu pengetahuan). Pustaka; kitab primbon (berisi ramalan). Dan tulisan atau huruf.
Menurut Abdul Rozak Zaidan, Anita K Rustapa dan Haniah memuat kata sastra secara umum diartikan tulisan dalam arti yang luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran  dan ekspresi jiwa. Menurut Panuti Sudjiman menuliskan bahwa sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
2.      Ciri-ciri Sastra
a.       Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.
b.      Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain.Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.
c.       Karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.
d.      Sastra menghidangkan sebuah antithesis antara hal-hal yang bertentangan.
e.       Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan kondisi.
3.      Jenis-jenis Sastra
a.      Puisi
Puisi berasal dari bahas Yunani yang juga bahasa latin poites (latin poeta). Mula-mula artinya pembangun, pembentuk, pembuat. Asal katanya poieo atau poio atau poeo yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Arti mula-mula itu lama-kelamaan semakin dipersempit menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), puisi dimaknai sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan.
b.      Cerita Rakyat
Cerita Rakyat merupakan salah satu cerita rekaan atau fiksi yang sudah tua usianya. Contoh cerita Panji adalah cerita hasil sastra Jawa yang sangat digemari oleh orang Indonesia, terutama orang Jawa dan Bali. Cerita ini berisi pengembaraan dan peperangan.
c.       Drama
Karya sastra yang berbentuk drama ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan.[1]
B.     Gambaran Karya Sastra di Jawa
Telah diuraikan bahwa puisi merupakan karya sastra yang paling tua, demikian pula karya sastra yang ada di Jawa, puisi merupakan karya sastra yang paling tua yang lazim disebut dengan mantra. Setelah mantra, muncul karya sastra yang lain, diantaranya parikan dan wangsalan.
Setiap tradisi di setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal gaib seperti mantra. Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi di Indonesia adalah pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukan ikatan yang kuat dalam strukutur kebahasaan.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalanParikan merupakam puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut dengan sampiran. Sementara itu, dalam wangsalan, dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.[2]


C.    Sejarah Perkembangan Sastra Jawa
Perkembangan sastra Jawa mengarungi perkembangan peradaban masyarakat Jawa selama menghadapi hidup dan kehidupannya. Dalam perkembangannya, sastra Jawa dibagi menjadi empat tahap: Sastra Jawa Kuno, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Jaman Islam, dan Sastra Jawa Jaman Surakarta Awal.
1.      Sastra Jawa Kuna
Menurut Linus Suryadi, Jawa Kuna ini disebut zaman “renaisan Jawa I” antara abad 8 sampai 15 M, yaitu Jawa, Budha dan Jawa Hindu, mungkin mulai abad 1 M (Linus Suryadi AG,1995:5). Pada zaman Hindu kesusastraan Jawa Kuna ditulis dalam bahasa Kawi dan aksara Jawa Kuna. Puncak perkembangan sastra pada periode ini berlangsung pada zaman kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M), dilanjutkan dengan zaman kerajaan Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M) (Linus Suryadi AG,1995:6).
2.      Sastra Jawa Tengahan
Menurut Linus Suryadi AG Jawa Madya atau Jawa Tengahan ini disebut zaman Reinaisan II (Linus Suryadi AG,1995:5). Sastra Jawa Tengahan ini terjadi pada zaman purba. Pada zaman ini sejalan dengan pikian masyarakat Jawa yang mangagungkan raja sebagai orang yang berkuasa atas segala isi di jagad raya ini (Dojosantoso, 1989:29).
3.      Satra Jawa Zaman Islam
Seni sastra zaman Islam yang berkembang di Indonesia sebagian besar mendapat pengaruh dari Persia, seperti cerita-cerita tentang Amir Hamzah, Bayan Budiman, 1001 malam, dan sebagainya. Seni sastra yang muncul pada zaman Hindu disesuaikan perkembangannya dengan keadaan zaman Islam. Diantara seni sastra tersebut antara lain Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra digubah menjadi Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Sri Rama, Hikayat Maharaja Rahwana, Hikayat Pancatantra.
Disamping seni sastra tersebut di atas, juga terdapat kitab-kitab suluk (kitab-primbon). Kitab-kitab ini bercorak magis dan berisi ramalan-ramalan dan penentu hari-hari baik dan buruk, serta pemberi-pemberian makna terhadap suatu kejadian.
4.      Sastra Jawa Zaman Surakarta
Pada zaman kerajaan Surakarta awal, sastra Jawa mengalami zaman keagungannya. Banyak sekali hasil sastra yang diciptakan dan isinya pun beragam pula. Menilik isi yang dikandung sebagian hasil sastra pada zaman tersebut mencerminkan sinkritisasi Jawa-Hindu-Budha-Islam yang nampak semakin berimbang. Unsur religius selalu terdapat dalam semua karya sastra waktu itu. Sastra Jawa mengalami zaman keemasan dengan pujangga pertama keraton kasunanan Surakarta Adiningrat yaitu R. Ng. Yasadipura I. Diantara karyanya adalah “Babad Giyanti”. Dalam babad ini diceritakan kekuasaan Sinuwun Pakubuwana II yang memerintah Kerajaan Kartasura dengan wibawa, bijaksana, dan gagah berani.[3]
D.    Interelasi Islam dan Jawa dalam Aspek Sastra  
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[4]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.[5] Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya,contohnya :
Wangsalan :        
Jenang sela (apu)
Wader kali sesonderan (sepat)
Apuran to
Yen wonten lepat kawula
Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang
Sinom 
Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangi
Kayu malang munggen wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira nglayung
oya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing wit
Edanira tan waras dening usada

                        Parikan
Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.
Wis pestimu, kowe pisah karo aku
Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat pembangunan moral. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.[6]
Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini,karena pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum banyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-Islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkandalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam karya sastranya untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat banyak mengembangkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan pengenalan ajaran islam. Dan semua karya sastra jawa baru yang sering digunakan pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya.[7]
            Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit.
Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu :
1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2. Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru :
1. Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
a.  Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
b.  Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
c.  Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15 bait),
d. Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12bait),
e. Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
f.  Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait),
g.  Serat dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula (12 bait), tembangkinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
h.  Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
i.  Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur(14 bait) dan sinom (18 bait).
2.  Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
a.  Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)
b.  Serat sabjati, memakai tembang megathruh (19 bait)
c.  Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)
d.  Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38 bait)
3.  Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
a.  Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi(16 bait), gambuh (17bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh(17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait).
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru diantaranya : 
1. Masalah Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki prajurit menghadapi era globalisasi yang  akan membentuk moral manusia, yang akan melahirkan generasi yang handal dan memiliki kemampuan daya saing tinggi.
2. Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam SeranayaKawara, dengan implementasi, mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
3. Memiliki moral yang baik, dalam serat Selokatama, dengan implementasi, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena dengan perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat.[8]
Dalam sastra jawa yang dipakai adalah satra pujangga keraton surakarta yang memiliki mentrum Islam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandhanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh. Maksud dari keterkaitan antara Islam dan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. 
 Pada zaman kontemporer karya-karya Jawa Islami sulit ditemukan karena kebanyakan pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang islami. Kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang njawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang njawani.Tetapi walaupun demikian, masih ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya lewat tembang macapat dengan warna islami. Diantara contohnya adalah Tembang Pocung “Bektiya Mring Pangeran”, dan Tembang Gambuh “Bektiyo Marang Wong Tuwamu”.

E.     Sejarah Pewayangan di Jawa
Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertujukan wayang adalah berarti bayangan-bayanga. Arti filsafat yang lebih dalam adalah bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan manusia tentang kehiduapan manusia masa lalu.
Penulisan yang lengkap tentang asal-usul wayang adalah disertasi Hazeu berjudul Bijdrage tot de kennis van het javaansche toneel. Disertasi akademik ini dipertahankan di universitas Leiden pada tanggal 30 Januari 1897. dalam disertasi ini telah dikomparasikan beberapa pendapat para sarjana tentang asal-usul wayang. Hazeu mengambil pendapat dari Crawfurt, bahwa orang jawa pada masa pra sejarah telah menemukan drama Polynesia, termasuk oleh Raden Panji Inu Kerta Pati pada abad XII, sebuah ciptaan yang muncul pada kejayaan  agama hidu. Menurut pendapat Vert, adanya suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian wayang dan gamelan asal jelas terdapat pengaruh dan bantuan hindu. Menurut pendapat Nieman bahwa orang hindu mempunyai jenis pertunjukan (teater) yang sama sekali berbeda dengan pertunjukan wayang. Pada hakekatnya teater India berbeda dari teater jawa. Istilah teknis pada pertunjukan wayang adalah khas jawa bukan sansekerta. Jadi wayang asal usulnya tidak mungkin dari India.
Dalam disertasinya Hazeu memberikan suatu kesimpulan bahwa untuk mengetahui asal-usul wayang, haruslah dianalisis dari sarana pentasnya bukan dari karya kecir, kotak, keprak, ilalang dan lainnya semua istilah asli jawa, bukan istilah asing atau India. Hazeu menarik kesimpulan bahwa asal-usul wayang adalah asli jawa, tentang pengaruh dari budaya asing sesudah masa itu tentunya pasti ada. Pengaruh ini akan membuat wayang semakin berkembang di masa selanjutnya.
Menurut Ir Sri Mulyono pada masa dua ribu tahun sebelum masehi, nenek moyang orang Jawa tealah mengenal budaya melayu-polynesia. Salah satu bagian kebudayaan ini adalah petunjukan bayang-bayang. Pertunjukan ini berisi Shamanisme kan berfungsi sebagai pemujaan Hyang. Dalam kurun waktu yang cukup lama dan secara evolusi pertunjukan ini berubah bentuk menjadi pertunjukan wayang kulit yang masih sederhana. Berulah kira-kira 600 tahun sebelum masehi mulai berkembang agama Hindu di Indonesia. Wayang kulit yang belum mencapai bentuknya terpengaruh dan digunakan oleh kepentingan agama Hindu dan Budha sebagai pertunjukan yang bersifat ritual, magis relegius dan pendidikan moral. Pertunjukan wayang kulit dari masa prahindu yang masih lestari fungsinya adalah pertunjukan wayang kulit untuk upacara rawatan upacara-upacara penyembelihan roh nenek moyang di masa sekarang diketahui dari beberapa fungsi ritual wayang kulit yang masih sering diselenggarakan adalah pertunjukan upacara bersih desa dan ruwetan.
Kembali tentang asal-usul wayang kecuali untuk kepentingan penelitian ilmiah, sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempersoalkan apakah wayang itu asli ciptaan orang jawa ataukah contekan dari kebudayaan lain. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memanfaatkan dan membina serta mengembangkan kekayaan budaya jawa ini unukt memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya jawa tetapi Indonesia bahkan dunia, bagai mana kita mengembangkan wayang ini untuk umat manusia untuk memayu hayuning bawana.[9]
           
F.     Jenis dan Unsur yang Terkandung dalam Pertunjukan Wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau-pulau jawa, bali, lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-lainnya, Baik  yang masih populer maupun yang hampir atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau dimusiumkan, menjelang akhir abad yang lalu seseorang Belanda yang menjadi Direktor Museum Etnografi di Leiden, yaitu Prof Dr. L Serrurior mengadakan peneliitan angket tentang jenis-jenis wayang di pulau jawa, dan hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul De Wajang Poerwa. Dalam buku itu disebut jenis-jenis wayang yang pada masa itu dikenal di pulau jawa, yaitu wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang jumbling, wayang (Kelithik) wayang Keruai (kruai) wangan Langendria, wayang Pegon, wayang Porwo, wayang Puwara, wayang Sasak, wayang Topeng dan wayang Wong atau Wayang Orang.
Dari semua jenis wayang itu yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya adalah wayang purwa, yaitu jenis pertunjukan wayang kulit, dengan lakon-lakon yang mula-mula bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India yaitu Ramayana dan mahabarata meskipun jenis pertunjukan ini berasal dari jawa dan telah terkenal di jawa Timur pada masa pemerintahan Raja Airlangga dalam abad 11.
Unsur dalam pertunjukan pewayangan diantara lain :
1.      Dalang : orang yang memainkan wayang. Dalang bertugas sebagai pemimpin pertunjukan.
2.      Pengrawit/wiyaga : orang yang memainkan gamelan, guna mengiringi pertunjukan pewayangan.
3.      Sinden/swarawati : orang yang bertugas sebagai penyanyi.
4.      Penyanyi : orang yang menyanyikan lagu-lagu modern. Ini termasuk tambahan atau bintang tamu.
5.      Pelawak : orang yang melucu dalam pertunjukan wayang, pelawak juga termasuk tambahan dalam pertunjukan wayang.
6.      Gamelan : alat musik jawa yang berlaras pelog dan slendro berfungsi untuk mengiringi pertunjukan wayang.
7.      Panggung : tempat yang agak tinggi yang terbuat dari papan untuk menaruh peralatan wayang dan gamelan. Panggung bukan kebutuhan yang pokok karena pada hakikatnya pertunjukan bisa dilakukan dimana saja asalkan tempatnya cukup dan nyaman.
8.      Soundsistem : peralatan elektronik untuk mengeraskan suara dalang dan gamelan.[10]
G.    Interelasi Islam dan Jawa dalam Aspek Pewayangan
Prof. K. MZ. Machfoel pernah menguraikan tentang makna punakawan, yakni Semar, Nala Rareng, Petruk dan Bagong ke 4 (empat) figur nama-namanya sama sekali tidak terdapat dalam epos Hindu Ramayana dan Mahabrata sebagai sumber cerita pewayangan aslinya. Munculnya figur punakawan tersebut merupakan hasil Wali sanget tiniton untuk memperagakan serta mengabadikan fungsi wathak, tugas konsepsional Walisongo dan para mubaligh islam menurut pendapatnya nama Semar, Nala Gareng Petrok dan Bagong bukan merupakan sebutan bahasa Jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arah sebagaimana nama:
  Semar dari Ismar
  Nala Gareng dari Naala Qarun
  Petruk dari Fatruk
  Bagong dari Baghao
Kata Islam oleh lidah Jawa diucapkan Semar dari kebiasaan “is” beruban menjadi “se” contohnya Istanbul menjadi setambul. Ismar adalah paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Ibarat ajaran Islam didakwahkan para Walisongo diseluruh kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang ada pergolakan dengan berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh Rakden Patah. Hal senada sesuai dengan hadits al-Islamu Ismaruddunya yang berarti Islam adalah pengokoh (paku pengokoh) keselamatan dunia.  Nala Qoriin oleh pengucapnya lidah Jawa menjadi Nala Gareng yang berarti memperoleh banyak teman dan tugas konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah (da’i) ialah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali kejalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Fatruk oleh pengucapan lidah Jawa menjadi Petruk. Kata tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi Fat-ruk kaila maa siwallahi, yang artinya tinggalkan semua apapun yang selain Allah wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribumi para Wali dan mubaligh pada waktu itu.baghoa oleh pengucapan lidah Jawa menjadi Bagong yang berarti berontak yaitu berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran suaru tindakan anti kesalahan. Dalam kata bago’ (arab) yang berarti kekal langgeng artinya semua makhluk nantinya di akhirat mengalami hidup kekal. Ditinjau dari makna serta isi nilai wayang jelas bahwa punakawan adalah bentuk lambang visualisasi dari ide masyarakat Jawa. Masyarakat pemggemar wayang mengerti bahwa manusia sebetulnya memerlukan pemomong dalam peejalanan hidup.
Bukan kekuatan manusia yang menyelamatkan dan mendekatkan diri pada Tuahn, melainkan bimbingan yang pada akhirnya berasal dari Tuhan juga. Manusia harus menyadari bahwa masing-masing dirinya lemah dan memerlukan perlindungan. Tanpa bimbingan Tuhan manusia akan tersesat.
Interelasi nilai dan islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya Jawa. Wayang merupakan suatu produk budaya manusia yang didalamnya terkandung seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntutan kehidupan. Dalam dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dalam kehiduan.
Wayang mengajarkan filsafat laku yang bersumber dari rasa dan hati nurani manusia yang paling dalam, sehingga ruang humanisme semakin terbuka di dalamnya, manusia diupayakan untuk mencintai seluruh makhluk yang ada diatas bumi ini. Karena manusia menjadi seorang pengelola diatas bumi ini yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan semua dengan baik. Wayang sekarang tidak hanya milik orang Jawa, namun sudah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.[11]



BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
            Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra Jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa. Sastra bisa berbentuk  puisi, prosa, dan drama. Diantara contoh karya sastra Jawa dengan metrum Islam adalah Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gatruh, dan Megatruh.
            Wayang adalah sebuah wira carita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berbuat jahat. Diantara jenis-jenis wayang adalah wayang kulit, golek, wong, dan klitik. Ajaran Islam yang masuk tanpa kekerasan dan bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada mempengaruhi wujud dalam seni yaitu seni pertunjukan khususnya wayang.
B. SARAN
            Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan. Kepada para pembaca, penulis menyadari banyaknya kekurangan dari penulisan makalah ini. Oleh karena itu disarankan kepada seluruh pembaca, supaya mencari dan membaca referensi-referensi lain yang terkait dengan materi. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.








[3] Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: PT. Pustaka Rizki, 2013, Hlm.47-53. 
[4] A. Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 144.
[5] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 375-376.                           
[8] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 151.


DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT.
            DuniaPustaka Jaya, 1981
M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
 Shodiq. Potret Islam Jawa, Semarang: PT. Pustaka Rizki, 2013