PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH, LEMBAGA-LEMBAGA, DAN
ORGANISASI YANG BERGERAK DALAM BIDANG PNDIDIKAN ISLAM DI MINANGKBAU
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai
lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai
dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan
Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
zamannya.
Perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari
dalam maupun dari luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konfrehensif.
Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan
tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tujuannya
selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman,
juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam
pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut
masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih
baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara demikian, upaya pengembangan
lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara
redikal.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pemikiran tokoh-tokoh yang bergerak dalam pendidikan Islam di Minangkabau?
B. Lembaga
apa yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam di Minangkabau?
C. Organisasi
apa yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam di Minangkabau?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pemikiram
Tokoh –Tokoh yang Bergerak dalam Pendidikan Islam di Minangkabau
1. Syekh
H. Abdullah Ahmad
Selain
sebagai juru dakwah, Abdullah Ahmad juga seorang pendidik pada zamannya. Dalam
kedudukannya sebagai pendidik ini, ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran
dalam bidang pendidikannya yang masih relevan untuk diterapkan di masa
sekarang. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan tersebut antara lain
sebagai berikut.
Pertama, tentang
pemerataan pendidikan. Sudah jelas bahwa Abdullah Ahmad adalah orang pertama
yang memelopori berdirinya madrasah di Indonesia, yaitu sekolah Adabiyah yang
merupakan model sekolah agama yang
menggunakan sistem klasikal lengkap dengan sarana dan prasarananya. Dialah
orang yang pertama mengadakan pembaharuan pendidikan dalam bidang sistem
kelembagaan atau institusi pendidikan.
Kedua, tentang
kurikulum. Pada tahun 1915 Sekolah Adabiyah diubah menjadi HIS Adabyiah. Yang
mana HIS Adabiyah berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam tradisional. Pada lembaga pendidikan Islam
tradisional, rencana pelajaran atau kurikulum tidak disusun secara sistematis
dan terencana, melainkan dengan sistem kitab. Namun suatu hal yang perlu
dicatat bahwa seluruh kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan tradisional
itu seluruhnya pelajaran agama, dan belum ada pelajaran umum. Abdullah Ahmad
melihat perlunya umat Islam mempelajari pengetahuan umum melalui lembaga yang
dibangunnya.
Gagasan
ini memperlihatkan dengan jelas adanya ide integrasi antara ilmu agama dan ilmu
umum pada lembaga-lembaga pendidikan. Hal ini membuat masyarakat sadar akan
perlunya keseimbangan antara kedua ilmu tersebut, caranya adalah orang-orang
yang berpengetahuan umum memberikan pengetahuannya kepada orang-orang yang
berpengetahuan agama, dan juga sebaliknya.
Ketiga, tentang
dana pendidikan. Dengan adanya perubahan tersebut, Adabiyah School mendapatkan
subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu berupa dana dan tenaga guru sebanyak
tiga orang Belanda; seorang sebagai kepala sekolah, sedangkan yang dua orang
lagi sbagai guru biasa. Hal ini memperlihatkan kecerdasan Abdullah Ahmad yang
telah berhasil melakukan 2 hal yaitu;
pertama, ia telah berhasil menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda terhadap
umat Islam; sedangkan yang kedua, ia telah berhasil mengupayakan adanya dana
alternatif bagi pendidikan Islam.
Keempat, tentang
kemodernan. Kemodernan ini antara
lain ditandai oleh sikap keterbukaan yang objektif dan kritis. Ciri kemodernan
lainnya dari lembaga pendidikan Adabiyah School adalah karena dipilihnya
guru-guru yang berbobot, setara dengan bobot para guru yang mengajar di sekolah
Belanda. Guru di sini harus memiliki kemampuan dalam memberikan ilmu
pengetahuan yang kurikulumnya sama dengan kurikulum sekolah setingkat untuk
Belanda. Selain itu, juga harus seorang yang idealis, penuh cita-cita untuk
kemajuan bangsa yang terjajah.
Kelima, tentang
metode pengajaran. Metode debating club
adalah termasuk metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad. Metode tersebut
memberikan kesempatan pada murid untuk bertanya dan berdialog tentang berbagai
hal yang menyangkut masalah agama yang pada saat itu masih dianggap tabu dan
kurang dianggap beradab ketika ditanyakan. Kemudian menggunakan metode perilaku
dan suri tauladan yang baik dan harus mereka tunjukkan pada setiap kesempatan, sehingga
anak didik termotivasi untuk mempelajari agama yang berpijak dari kesadarannya
sendiri.
Selanjutnya
Abdullah Ahmad juga mengajukan metode pendidikan melalui pemberian hadiah dan
hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Metode lainnya yang perlu
diterapkan adalah metode bermain dan rekreasi agar anak tidak cepat bosan
sehingga tidak merusak perilaku anak yang semula baik.
Selain
sebagai teoretisi dan praktisi pendidikan Islam, Abdullah Ahmad juga dikenal
sebagai penulis yang produktif. Pada tahun 1911 ia menerbitkan majalah al-Munir bersama-sama H. Abdul Karim
Amrullah. Walaupun masa terbit al-Munir
hanya lima tahun (1911-1916), tapi gagasan-gagasan barunya, baik dalam bidang
pendidikan maupun pemahaman-pemahaman keagamaan, sudah cukup tersebar luas.
Pada
tahun 1919 Abdullah Ahmad mendirikan organisasi keguruan, Persatuan Guru Agama
Islam (PGAI). Ini menunjukkan betapa gigihnya dalam memperjuangkan kemajuan
intelektual umat.[1]
2. Rahmah
El-Yunusiah
Tokoh
Pendidikan dan Perjuangan Islam wanita dari Sumatera Barat ini memiliki banyak
prestasi sebagai berikut.
Pertama,
Rahmah El-Yunusiah adalah orang pertama di Sumatera Barat atau mungkin di
Indonesia yang amat peduli dengan nasib kaum wanita. Ialah yang memiliki
cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu
yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kedua,
Rahmah adalah orang pertama yang mendirikan sekolah yang khusus untuk kaum
wanita. Melalui lembaga yang didirikannya ia bercita-cita agar kaum wanita
sanggup berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk menjadi ibu, pendidikan
yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah
air, di mana kehidupan agama mendapat tempat yang layak. Cita-citamya ini
dirumuskan dalam tujuan pendirian Diniyah Putri.
Ketiga, ia
berpendirian agar sekolah dijauhkan dari aktivitas politik praktis. Karena,
jika sekolah tersebut terlibat dalam aktivitas politik praktis dapat
menyebabkan sekolah tersebut tidak dapat bekerja secara profesional.
Keempat,
ia merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolah yang
didirikannya, yaitu ketika mendengar berita proklamasi kemerdekan Indonesia
dikumandangkan.
Kelima,
Rahmah tercatat sebagai orang yang pertama sekali memiliki cita-cita mendirikan
Perguruan dan Rumah Sakit yang khusus untuk kaum wanita.
Keenam,
dengan berbagai prestasinya yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan
perjuangan bagi kepentingan bangsa dan negara, Rahmah El-Yunusiah telah
mencapai kemajuan yang diakui oleh dunia, sebagaimana terlihat pada penghargaan
sebagai Syekh yang diberikan oleh Universitas Al-Azhar, Kairo kepadanya.[2]
3. Syekh
Ibrahim Musa Parabek
Usaha-usaha
dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang dilakukan Syekh Ibrahim adalah
sebagai berikut.
Pertama,
bahwa Syekh Ibrahim termasuk ke dalam tokoh dan ulama Islam yang memiliki
komitmen yang kuat untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat
sesuai dengan cita-cita Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Kedua,
bahwa upaya untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat Islam
sebagaimana tersebut pada butir pertama di atas, dilakukan dengan menggunakan
pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikannya.
Ketiga, ide-ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan yang dibawanya banyak dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah berupa bakat, kepribadian
dan minatnya untuk memajukan masyarakat yang berada di lingkungannya, yaitu
Parabek. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pendidikan yang
dimilikinya, terutama ketika menimba ilmu di Makkah, serta faktor kolonial
Belanda yang memperkenalkan model pendidikan klasikal.
Keempat, upaya-upaya
pembaharuan dalam bidang pendidikan dapat dinilai berhasil, selain disebabkan
karena kedalaman ilmunya juga karena pendekatan yang digunakannya yang lebih mengedepankan
cara-cara yang persuasif. Ide-ide ini tampaknya cukup relevan untuk digunakan
dalam menangani berbagai masalah dewasa.[3]
B.
Lembaga
yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan Islam di Minangkabau
1. Surau
Istilah
Surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem
adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang
yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi
anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Hal ini
menyebabkan Surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi
Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis
lainnya.[4]
Tatkala
Islam masuk, kehadiran Surau pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanudin
sebagai tempat melaksanakan shalat dan pendidikan tarekat (suluk), dengan cepat
bisa terosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Kemudian, posisi Suraupun mengalami perkembangan. Selain fungsinya di atas, Surau
juga menjadi tempat persinggahan bagi para perantau.[5]
Surau
yang pertama kali muncul di Minangkabau berada di daerah Ulakan-Pariaman oleh
Syekh Burhanudin.[6]
Melalui pendekatan ajaran tarekat (suluk) Sattariyah, Syekh Burhanudin
menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan ajarannya yang
menanamkankan kesederhanaan, tarekat Sattariyah berkembang dengan pesat. Bahkan
muridnya tidak hanya berasal dari Ulakan-Pariaman, melainkan juga berasal dari
daerah lain di Minangkabau, seperti Tuanku Mansiang Nan Tuo yang mendirikan
Surau di Paninjauan dan Tuanku Nan Kaciak yang mendirikan Surau di Koto Gadang.
Murid-murid Syekh Burhanudin tersebut kemudian memainkan peranan yang sangat
penting dalam pengembangan Surau sebagai lembaga pendidikan bagi generasi
selanjutnya. Pada perkembangannya, fungsi Surau tidak banyak mengalami
perubahan, baik materi maupun sistem pendidikannya. Akan tetapi, setelah banyak
ulama Minangkabau yang belajar di Makkah, mereka kemudian mengajarkan berbagai
ilmu agama di Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari catatan Pakih Sagir,
seorang ulama Minangkabau periode ini bahwa pada akhir abad 18, para ulama
Minangkabau telah menyebarkan Islam melaui Suraunya masing-masing dengan materi
pendidikan yang bermacam-macam. Tuanku di Tanah Rao mengajarkan ilmu mantiq dan
ma’ani. Tuanku di Sumanik mengajarkan ilmu hadis, tafsir, dan faraidh. Tuanku
di Talang mengajarkan ilmu sharaf. Tuanku di Koto Baru mengajarkan ilmu nahwu.
Dengan berkembangnya berbagai ilmu agama dan kemasyhuran para ulama-ulama
tersebut, maka berduyun-duyun masyarakat untuk belajar agama di Minangkabau.
Bahkan ketertarikan masyarakat untuk menuntut ilmu agama, telah meluas sampai
di Tanah Rao dan Teluk Rantau.
Sebagai
lembaga pendidikan tradisional, Surau menggunakan sistem pendidikan halaqah.
Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih seputar belajar huruf
hijaiyah dan membaca Alquran disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti
keimanan, akhlak, dan ibadah.
Secara
bertahap eksistensi Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.
Ada dua jenjang pendidikan Surau pada era ini, yaitu:
a.
Pengajaran
Alquran
Untuk
mempelajari Alquran ada dua macam tingkatan : pertama, pendidikan rendah yaitu pendidikan untuk memahami ejaan
huruf Alquran dan membaca Alquran. Disamping itu, juga dipelajari cara berwudhu
dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal,
keimanan terutama sifat 20 dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak
yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
Kedua, pendidikan
atas yaitu pendidikan membaca Alquran dengan lagu, qasidah, berjanji, tajwid,
dan kitab perukunan.
b.
Pengajian
Kitab
Setelah
menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke
jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pangajian kitab. Materi pendidikan pada
jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu
lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa melayu. Setelah itu, baru diterangkan
maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.
Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara
melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu.
Pada
masa awal, kitab yang dipelajari pada masing-masing materi pendidikan masih
mengacu pada satu kitab tertentu. Setelah
ulama Minangkabau yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber
yang digunakan mulai mengalami pergeseran. Kitab yang digunakan pada setiap
materi pendidikan sudah bermacam-macam. Terjadinya pencerahan semacam ini
disebabkan karena ulama-ulama yang pulang tersebut tidak dengan tangan hampa
melainkan juga dengan membawa sumber-sumber (kitab) yang banyak sekali.
Jika
dianalisa, bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya
metode pendidikan Surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah
pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya yaitu
lemahnya kemampuan memahami dan daya analisa kritis siswa terhadap teks. Disisi
lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang biasa
membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang
dibaca dan dihafalkannya itu.
Surau
tidak hanya sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai lembaga
pendidikan tarekat. Fungsi Surau yang kedua ini lebih dominan dalam
perkembangannya di Minangkabau.
Ulama
memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka Syekh
Abdurrahman mendirikan Surau yang terkenal dengan “Surau Dagang”. Di Surau
inilah Syekh Abdurrahman mengajarkan Alquran dengan berbagai macam irama dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Keadaan
yang demikian itu membuat suasana semakin memanas dan membagi masyarakat
menjadi 2 kubu. Kubu pertama menolak pembaharuan yang dimotori oleh kaum adat
yang dibantu Kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama
(Kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktek kehidupan yang sudah jauh dari
nilai-nilai agama.
Surau
sebagai lembaga Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh beberapa
hal, pertama selama perang Padri
banyak Surau yang musnah terbakar dan syekh banyak yang meninggal. Kedua Belanda mulai mengenalkan sekolah
nagari. Ketiga kaum intelektual muda
muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap
praktek-praktek Surau yang penuh dengan khufarat, bid’ah dan takhayul.
Untuk
menjaga eksistensinya, ulama tradisional mengadakan rapat besar di Bukittinggi
tanggal 5 Mei 1930 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (PTI). Keputusan lain dari rapat itu adalah bahwa
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam PTI harus dimodernisasi
mengikuti pola yang dikembangkan kaum intelektual muda.[7]
2. Meunasah
Merupakan
tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah.
Meunasah merupakan suatu bangunan yang terdapat di setiap gampong
(kampong,desa). Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan untuk tempat belajar dan brdiskusi
serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Disamping itu, juga menjadi tempat bermalam para anak muda serta orang
laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah
juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong.
Diantara
fungsi Meunasah adalah:
a. Sebagai
tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat
penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu.
b. Sebagai
lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Alquran. Pengajian
bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam
satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jumat dipakai ibu-ibu untuk sholat
berjamaah dhuhur yng diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru
perempuan.
Dalam
perkembangannya Meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat pendidikan,
tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama
barang-barang yang tak brgerak.
Pendidikan Meunasah ini dipimpin oleh Teungku
Meunasah. Pendidikan untuk anak yatim perempuan diberikan oleh Teungku
perempuan yang disebut Teungku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada
anak-anak Teungku Meunasah dibantu oleh beberapa muridnya yang lebih cerdas
yang disebut sida.
3. Pesantren
Pesantren
berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pedan akhiran an yang menunjukkan
tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan
menurut Sudjoko Prasodjo, “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kyai mengajarkan ilmu
agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam
bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di
pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.”
Dengan
demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut,
sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kyai, santri, masjid sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para
santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran.
Disisi
lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur keseimbangannya tidak bisa
dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua
pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya
masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama.
Diantara karakteristik pesantren itu dari segi:
a. Materi
Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai
lembaga pendidikan Islam pesantren hanya mengajarkan agama sedangkan kajian
atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam Bahasa Arab (kitab kuning).
Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Alquran dengan tajwid dan
tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah
hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf.
Adapun
metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah:
1) Wetonan, yakni
suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling
kyai yang menerangkan pelajaran.
2) Metode Sorogan, yakni
suatu metode di mana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa
kitab yang akan dipelajarinnya.
3) Mtode Hafalan, yakni
suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab
yang dipelajarinya.
b. Jenjang
Pendidikan
Jenjang
pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga pendidikan yang
memakai sistem klasikal. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya
kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi pada penguasaan kitab-kitab yang
telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
c. Fungsi
Pesantren
Pesantren
juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal madrasah, sekolah
umum, perguruan tinggi) dan nonformal. Sebagai lembaga sosial, pesantren
menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan
status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang
berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi
sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para
jamaah.
d. Kehidupan
Kyai dan Santri
Menurut
Zamakhsyari Dhofir,”kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat
sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam.” Tegasnya
kyai adalah tempat bertanya atau sumber referensi, tempat menyelesaikan segala
urusan dan tempat meminta nasehat dan fatwa.
Pesantren dapat dibedakan menjadi
dua corak, yaitu pertama pesantren
tradisional. Pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai
tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam
sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren
ini. Kedua, pesantren modern. Pesantren
corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem
pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Pengembangan bakat dan hobinya
secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara
pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan bahasa Inggris)
sangat ditekankan.
4. Madrasah
Sejarah
dan perkembangan madrasah di bagi menjadi 2 periode yaitu:
a. Periode
Sebelum Kemerdekaan
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan
sistem baru, dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan
masih dapat dipertahankan serta dapat mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu,
teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena
itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga
pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran
yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.
Latar
belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi
yaitu:
1.
Gerakan
Pembharuan Islam di Indonesia
Gerakan
ini muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan
semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karl A Stenbrink dengan
mengidentifikasi 4 faktor, antara lain:
a) Keinginan
untuk kembali pada Alquran dan Hadis
b) Semangat
nasionalisme dalam melawan penjajah
c) Memperkuat
basis gerakan sosial budaya dan politik
d) Pembaharuan
pendidikan Islam di Indonsia
2.
Respon
Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Hindia Belanda
Perkembangan
sekolah pada masa Hindia Belanda telah berkembang pesat dan merakyat menyebabkan
tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respon
terhadap tantangan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut
muncul dari tokoh-tokoh yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau
pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan
maupun kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah/sekolah. Madrasah-madrasah
yang didirikan tersebut antara lain:
a) Madrasah
(Adabiyah School) yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di
Padang Panjang
b) Sekolah
agama (Madras School) yang didirikan oleh Syekh M. Thaib Umar di Sungayang,
Batu Sangkar pada tahun 1920
c) Madrasah
Diniyah (Diniyah School) yang didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh
Zainudin Labai El Yanusiy di Padang Panjang
d) Madrasah
Muhammadiyah didirikn oleh Organisasi Muhammadiyah pada tahun 1918
e) Arabiyah
School didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas
b. Periode
Sesudah Kemerdekaan
Setelah
Indonesia merdeka kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen
Agama yang akan mengurus masalah keberagaman di Indonesia termasuk pendidikan,
khususnya madrasah. Pendidikan Islam di Indonesia masih tersisih dari sistem
pendidikan nasional. Keadan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3
Menteri tanggal 24 Maret 1975 yang tersohor itu, yang berusaha mengembalikan
ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream nasional.
Kebijakan
ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai
yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua lulusan sekola madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum
yang setingkat lebih tinggi, ketiga siswa
madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.[8]
C.
Organisasi
yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan Islam di Minangkabau
Para
pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah
keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insaf bahwa penyelenggaraan pendidikan
yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya.
Maka lahirlah sekolah-seklah pertikelir (swasta) atas usaha para perintis
kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu:
1. Sesuai
dengan haluan politik, seperti:
a. Taman
Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta
b. Sekolah
Serikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis
c. Ksatrian
Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung
d. Perguruan
Rakyat, di Jakarta dan Bandung
2. Sesuai
dengan tuntutan/ajaran agama (Islam), yaitu:
a. Sekolah-Sekolah
Serikat Islam
b. Sekolah-Sekolah
Muhammadiyah
c. Sumatera
Tawalib di Padang Panjang
d. Sekolah-Sekolah
Nahdatul Ulama
e. Sekolah-Sekolah
Persatuan Umat Islam (PUI)
f. Sekolah-Sekolah
Al Jami’ul Wasliyah
g. Sekolah-Sekolah
Al Irsyad
h. Sekolah-Sekolah
Normal Islam
Pada
bagian berikut akan dikhususkan pembahasan tentang organisasi-organisai yang
berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas kependidikan Islam.[9]
1)
Al-Jami’at
Al-Khairiyah
Organisasi
yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada
tanggal 17 Juli 1905. Anggota ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak
menutupi kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi
asal-usul. Umumnya anggota dan pimpinannya terdiri dari orang-orang yang
berada, yang memunkinkan penggunaan waktu mereka untuk perkembangan organisasi
tanpa mengorbankan usaha pencarian nafkah.
Dua
bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini ialah (1) pendirian
dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, dan (2) pengiriman anak-anak
muda ke Turki untuk melanjutkan studi. Sekolah dasar Jami’at Khair bukan
semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan
umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung,
sejarah (umumnya sejarah Islam), ilmu bumi, dan sebagainya.
2)
Al-Islah
Wal Irsyad
Syekh
Ahmad Sukarti yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912, seorang ‘alim terkenal
dalam agama sendiri bernama Al-Islah Wal Irsyad, dengan haluan mengadakan
pembaharuan dalam Islam (reformisme).
Pada
tahun 1915 berdirilah sekolah-sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang
kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan
itu. Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru sebagai
tempat meminta fatwa ialah Syekh Ahmad Sukarti yang sebagian besar dari umurnya
dicurahkan bagi penelaahan pengetahuan. Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian
pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada
permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab.
Sekolah
Al-Irsyad di Jakara lebih banyak jenisnya. Terdapat sekolah-sekolah tingkat
dasar, sekolah guru, bagian takhasus (dengan pelajaran dua tahun) di mana pelajar
dapat mengadakan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau bahasa.
Tetapi struktur ini meminta waktu tahunan untuk dapat dibangun.
Perbaikan
sekolah dimulai tahun 1924 ketika sebuah peraturan dikeluarkan bahwa hanya
anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas satu sekolah
dasar yang lama belajarnya lima tahun. Sedangkan anak yang lebih dari 10 tahun dapat
masuk ke kelas-kelas lebih tinggi, bergantung pada kemampuan yang
diperlihatkannya pada ujian masuk.
Sebagaimana
halnya dengan organisasi-organisasi lain. Al-Irsyad juga mempergunakan tabligh
dan pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya, ia juga
menerbitkan beberapa buah buku dan pamflet-pamflet. Dengan melalui media-media
ini Al-Irsyad menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam dengan berpedoman pada Alquran dan Rasulullah.
3)
Perserikatan
Ulama
Perserikatan
ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa
Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim. Beliau lahir pada tahun 1887 di Ciberlang,
Majalengka. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama.
KH
Ahamad Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22
tahun di berbagai pesantren daerah Majalengka. Kemudian ia pergi ke Makkah
untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Enam bulan setelah
kembali dari Makkah pada tahun 1991 KHA Halim mendirikan sebuah organisasi yang
ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak baik di bidang ekonomi maupun di
bidang pendidikan. Anggotanya 60 orang, yang umumnya terdiri dari pedagang dan
petani. Mereka membayar iuran masuk sepuluh sen sedang iuran mingguan lima sen,
untuk dana mendirikan sebuah perusahaan tenun. Organisasi ini juga bermaksud
untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak dalam bidang perdagangan dalam
persaingan dengan pedagang-pedagang Cina.
Organisasi
tersebut yang kemudian diganti menjadi Perserikatan Ulama, diakui sah secara
hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S Cokroaminoto
(pimpinan serikat Islam). Ia disebut juga perserikatan umat Islam yang pada
tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Itihadiyah Islamiyah
(AII), menjadi persatuan umat Islam.
Sebagaimana
organisasi-organisasi lain, perserikatan ulama sejak mula berdiri,
menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah
dan brosur sebagai media penyebaran cita-citanya. Disamping masalah-masalah
organisasi, pertemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi tersebut
mengutamakan sekali aspek-aspek Islam.
4)
Muhammadiyah
Salah
satu organisasi Islam yang terpnting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan
mungkin juga sampai saat ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijah
1330 H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya
dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan
yang bersifat permanen.
Organisasi
ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumi putera” dan memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Usaha
lain untuk mencapai maksud dan tujuan itu adalah dengan:
a)
Megadakan dakwah Islam
b)
Memajukan pendidikan
dan pengajaran
c)
Menghidup-suburkan
masyarakat tolong-menolong
d)
Mendirikan dan memelihara
tempat ibadah dan wakaf
e)
Mendidik dan mengasuh
anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti
f)
Berusaha kearah
perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam
g)
Berusaha dengan segala
kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat
Diantara
sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya adalah:
a)
Kweekschool Muhammadiyah
Yogyakarta
b)
Mua’allimin
Muhammadiyah Solo, Jakarta
c)
Mua’allimat
Muhammadiyah Yogykarta
d)
Zu’amma/Za’immat
Yogyakarta
e)
Kulliyah
Mubalighin/Mubalighat Padang Panjang (Sumatra Tengah)
f)
Tabligh School
Yogyakarta
g)
HIK Muhammadiyah
Yogyakarta
Banyak
lagi HIS Muhammadiyah, Mulo, AMS Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Sanawiyah/Wusta
Muhammadiyah dan lain-lain. Semuanya itu didirikan pada masa penjajahan Belanda
dan pendudukan Jepang, dan tersebar pada tiap-tiap cabang Muhammdiyah seluruh
kepulauan Indonesia. Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah /
madrasah-madrasah berlipat ganda banyaknya dari masa penjajahan Belnda dahulu.
5)
Nahdatul
Ulama (NU)
NU
didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. Maksud perkumpulan NU ialah memegang
teguh salah satu mazhab dari mazhab imam yang bermpat yaitu Syafi’i, Maliki,
Hanafi, Hambali dan mengajarkan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk
agama Islam.
Untuk
mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
a) Mengadakan
perhubungan di antara ulama yang bermazhab tersebut di atas
b) Memeriksa
kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu
termasuk kitab-kitab ahli sunnah wal jama’ah atau kitab-kitab ahli nid’ah
c) Menyiarkan
agama Islam berdasarkan pada mazhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang
baik
d) Berikhtiar
memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam
e) Memperhatikan
hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok-pondok,
begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang fakir miskin
f) Mendirikan
badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang
tidal dilarang oleh syara’ agama Islam
Demikian
maksud dan tujuan dari NU. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU
adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan pengajaran Islam. Oleh sebab
itu, NU mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi
budi pekerti mereka. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU
tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan mengadakan
tabligh-tabligh dan pengajian-pengajian disamping urusan sosial lain, bahkan
juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.
6)
Persatuan
Islam
Persatuan
Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920 an ketika
orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha
untuk mengadakan pembahanan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat memulai
pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, sungguhpun sarekat
Islam telah beroperasi di kota ini semenjak tahun 1913. Kesadaran tentang
keterlambatan ini merupakan salah sebuah cambuk untuk mendirikan sebuah
organisasi.
Memang
perhatian Persis terutama ialah bagaimana menyebarkan cita-cita pemikirannya.
Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah,
kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau
menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Pembaharuannya
inilah yang terutama menyebarluaskannya daerah penyebaran pemikirannya. Lagi
pula penerbitan ini pula dijadikan referensi oleh guru-guru dan
propagandis-propagandis organisasi lain seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah.
Dalam kegiatan Persis beruntung memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua
orang tokoh yang penting yaitu, Ahmad Hasan yang dianggap sebagai guru Persis
yang utama pada masa sebelum perang, dan Muhammad Natsir yang pada waktu itu
merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak
sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan kaum pelajar.
Sebagaimana
halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besar
pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Dalam bidang
pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimaksudkan untuk
anak-anak dari anggota Persis. Tapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat
menerima anak-anak lain. Kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa
mulanya juga dibatasi pada anggota-anggotanya saja. Hassan dan Zamzam mengajar
pada kursus ini yang terutama membahas soal-soal iman serta ibadah dengan
menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik masyarakat
pada waktu itu seperti, poligami dan nasionalisme juga dibicarakan.[10]
IV.
KESIMPULAN
Pemikiran
tokoh tentang pendidikan Islam di Minangkabau datang dari:
1. Syekh
H. Abdullah Ahmad
Pertama, tentang
pemerataan pendidikan
Kedua, tentang
kurikulum
Ketiga, tentang
dana pendidikan
Kempat, tentang
kemodernan
Kelima, tentang
metode pengajaran
2. Rahmah
El-Yunusiah
Pertama, Rahmah
memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk
menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kedua, Rahmah
adalah orang pertama yang mendirikan sekolah khusus untuk kaum wanita.
Ketiga, beliau
sangat kuat pendiriannya dalam menanamkan jiwa agama di lembaga pendidikan yang
dibangunnya.
Kempat, merupakan
orang yang pertama mengibarkan bendera merah putih di sekolah yang
didirikannya.
Kelima, dia
juga tercatat sebagai orang yang pertama kali memiliki cita-cita mendirikan
Perguruan dan Rumah Sakit yang khusus untuk kaum wanita.
Kenam, memproleh
penghargaan sebagai Syekh yang diberikan oleh Universitas Al-Azhar, Kairo.
3. Syekh
Ibrahim Musa Parabek
Pertama, ia
memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan
masyarakat sesuai dengan cita-cita Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran dan
Hadis.
Kedua, upaya
untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat Islam dilakukan dengan
menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikannya.
Ketiga, ide-ide
pembaruan dalam bidang pendidikan yang dibawanya banyak dipengaruhi faktor
internal (bakat, kepribadian, dan minatnya untuk memajukan masyarakat yang
berada di Parabek) dan faktor eksternal (pengaruh pendidikan yang dimilikinya,
terutama ketika menimba ilmu di Makkah, serta faktor kolonial Belanda yang
memperkenalkan model pendidikan klasikal).
Keempat, upayanya
berhasil karena kedalaman ilmunya, juga karena pendekatan yang digunakannya
lebih mengedepankan cara-cara yang persuasif.
Lembaga-lembaga
yang bergerak dalam pendidikan Islam di Minangkabau diantaranya yaitu:
1. Surau
2. Meunasah
3. Pesantren
4. Madrasah
Sedangkan
organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam di
Minangkabau yaitu:
1. Al-Jami’at
Al-Khairiyah
2. Al-Islam
Wal Irsyad
3. Perserikatan
Ulama
4. Muhammadiyah
5. Nahdatul
Ulama
6. Persatuan
Islam
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami buat, menyadari dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kami butuh kritik dan saran dari teman-teman
semua untuk memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini agar menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi para
pemakalah pada khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah.
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. PT
Raja Grafindo Persada: Jakarta.
1995.
Nata,
Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. PT
Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2004.
Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. PT Raja
Grafindo Persada: Jakarta.
2005.
Nizar,
Syamsul. Sejarah Pendidikan Islam. Kencana:
Jakarta. 2009.
Nizar,
Syamsul. Sejarah dan Pergolakan
Pendidikan Islam. PT Ciputat Prss Group:
Jakarta.
2005.
Yunus,
Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di
Minangkabau. PT. Hidakarya Agung:
Jakarta.
1979.
Zuharini.
Sejarah Pendidikan Islam. Bumi
Aksara: Jakarta. 1995.
[1] Abuddin
Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).
Hlm. 15-25.
[5] Syamsul Nizar, M.A. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan
Islam. (Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005). Hlm. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar