Jumat, 24 April 2015

makalah sejarah pendidikan ialam

PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH, LEMBAGA-LEMBAGA, DAN ORGANISASI YANG BERGERAK DALAM BIDANG PNDIDIKAN ISLAM DI MINANGKBAU 

I.                   PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya.
Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun dari luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konfrehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara demikian, upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara redikal.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pemikiran tokoh-tokoh yang bergerak dalam pendidikan Islam di Minangkabau? 
B.     Lembaga apa yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam di Minangkabau?
C.     Organisasi apa yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam di Minangkabau?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pemikiram Tokoh –Tokoh yang Bergerak dalam Pendidikan Islam di Minangkabau
1.      Syekh H. Abdullah Ahmad
Selain sebagai juru dakwah, Abdullah Ahmad juga seorang pendidik pada zamannya. Dalam kedudukannya sebagai pendidik ini, ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikannya yang masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, tentang pemerataan pendidikan. Sudah jelas bahwa Abdullah Ahmad adalah orang pertama yang memelopori berdirinya madrasah di Indonesia, yaitu sekolah Adabiyah yang merupakan  model sekolah agama yang menggunakan sistem klasikal lengkap dengan sarana dan prasarananya. Dialah orang yang pertama mengadakan pembaharuan pendidikan dalam bidang sistem kelembagaan atau institusi pendidikan.
Kedua, tentang kurikulum. Pada tahun 1915 Sekolah Adabiyah diubah menjadi HIS Adabyiah. Yang mana HIS Adabiyah berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam tradisional. Pada lembaga pendidikan Islam tradisional, rencana pelajaran atau kurikulum tidak disusun secara sistematis dan terencana, melainkan dengan sistem kitab. Namun suatu hal yang perlu dicatat bahwa seluruh kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan tradisional itu seluruhnya pelajaran agama, dan belum ada pelajaran umum. Abdullah Ahmad melihat perlunya umat Islam mempelajari pengetahuan umum melalui lembaga yang dibangunnya.
Gagasan ini memperlihatkan dengan jelas adanya ide integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum pada lembaga-lembaga pendidikan. Hal ini membuat masyarakat sadar akan perlunya keseimbangan antara kedua ilmu tersebut, caranya adalah orang-orang yang berpengetahuan umum memberikan pengetahuannya kepada orang-orang yang berpengetahuan agama, dan juga sebaliknya.
Ketiga, tentang dana pendidikan. Dengan adanya perubahan tersebut, Adabiyah School mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu berupa dana dan tenaga guru sebanyak tiga orang Belanda; seorang sebagai kepala sekolah, sedangkan yang dua orang lagi sbagai guru biasa. Hal ini memperlihatkan kecerdasan Abdullah Ahmad yang telah  berhasil melakukan 2 hal yaitu; pertama, ia telah berhasil menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda terhadap umat Islam; sedangkan yang kedua, ia telah berhasil mengupayakan adanya dana alternatif bagi pendidikan Islam.
Keempat, tentang kemodernan. Kemodernan ini antara lain ditandai oleh sikap keterbukaan yang objektif dan kritis. Ciri kemodernan lainnya dari lembaga pendidikan Adabiyah School adalah karena dipilihnya guru-guru yang berbobot, setara dengan bobot para guru yang mengajar di sekolah Belanda. Guru di sini harus memiliki kemampuan dalam memberikan ilmu pengetahuan yang kurikulumnya sama dengan kurikulum sekolah setingkat untuk Belanda. Selain itu, juga harus seorang yang idealis, penuh cita-cita untuk kemajuan bangsa yang terjajah.
Kelima, tentang metode pengajaran. Metode debating club adalah termasuk metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad. Metode tersebut memberikan kesempatan pada murid untuk bertanya dan berdialog tentang berbagai hal yang menyangkut masalah agama yang pada saat itu masih dianggap tabu dan kurang dianggap beradab ketika ditanyakan. Kemudian menggunakan metode perilaku dan suri tauladan yang baik dan harus mereka tunjukkan pada setiap kesempatan, sehingga anak didik termotivasi untuk mempelajari agama yang berpijak dari kesadarannya sendiri.   
Selanjutnya Abdullah Ahmad juga mengajukan metode pendidikan melalui pemberian hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Metode lainnya yang perlu diterapkan adalah metode bermain dan rekreasi agar anak tidak cepat bosan sehingga tidak merusak perilaku anak yang semula baik. 
Selain sebagai teoretisi dan praktisi pendidikan Islam, Abdullah Ahmad juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Pada tahun 1911 ia menerbitkan majalah al-Munir bersama-sama H. Abdul Karim Amrullah. Walaupun masa terbit al-Munir hanya lima tahun (1911-1916), tapi gagasan-gagasan barunya, baik dalam bidang pendidikan maupun pemahaman-pemahaman keagamaan, sudah cukup tersebar luas.
Pada tahun 1919 Abdullah Ahmad mendirikan organisasi keguruan, Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Ini menunjukkan betapa gigihnya dalam memperjuangkan kemajuan intelektual umat.[1]
2.      Rahmah El-Yunusiah
Tokoh Pendidikan dan Perjuangan Islam wanita dari Sumatera Barat ini memiliki banyak prestasi sebagai berikut.
Pertama, Rahmah El-Yunusiah adalah orang pertama di Sumatera Barat atau mungkin di Indonesia yang amat peduli dengan nasib kaum wanita. Ialah yang memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Rahmah adalah orang pertama yang mendirikan sekolah yang khusus untuk kaum wanita. Melalui lembaga yang didirikannya ia bercita-cita agar kaum wanita sanggup berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk menjadi ibu, pendidikan yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, di mana kehidupan agama mendapat tempat yang layak. Cita-citamya ini dirumuskan dalam tujuan pendirian Diniyah Putri.
Ketiga, ia berpendirian agar sekolah dijauhkan dari aktivitas politik praktis. Karena, jika sekolah tersebut terlibat dalam aktivitas politik praktis dapat menyebabkan sekolah tersebut tidak dapat bekerja secara profesional.
Keempat, ia merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolah yang didirikannya, yaitu ketika mendengar berita proklamasi kemerdekan Indonesia dikumandangkan.
Kelima, Rahmah tercatat sebagai orang yang pertama sekali memiliki cita-cita mendirikan Perguruan dan Rumah Sakit yang khusus untuk kaum wanita.
Keenam, dengan berbagai prestasinya yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan perjuangan bagi kepentingan bangsa dan negara, Rahmah El-Yunusiah telah mencapai kemajuan yang diakui oleh dunia, sebagaimana terlihat pada penghargaan sebagai Syekh yang diberikan oleh Universitas Al-Azhar, Kairo kepadanya.[2]
3.      Syekh Ibrahim Musa Parabek
Usaha-usaha dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang dilakukan Syekh Ibrahim adalah sebagai berikut.
Pertama, bahwa Syekh Ibrahim termasuk ke dalam tokoh dan ulama Islam yang memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat sesuai dengan cita-cita Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Kedua, bahwa upaya untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat Islam sebagaimana tersebut pada butir pertama di atas, dilakukan dengan menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikannya.
Ketiga, ide-ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang dibawanya banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah berupa bakat, kepribadian dan minatnya untuk memajukan masyarakat yang berada di lingkungannya, yaitu Parabek. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pendidikan yang dimilikinya, terutama ketika menimba ilmu di Makkah, serta faktor kolonial Belanda yang memperkenalkan model pendidikan klasikal.
Keempat, upaya-upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan dapat dinilai berhasil, selain disebabkan karena kedalaman ilmunya juga karena pendekatan yang digunakannya yang lebih mengedepankan cara-cara yang persuasif. Ide-ide ini tampaknya cukup relevan untuk digunakan dalam menangani berbagai masalah dewasa.[3]
B.     Lembaga yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan Islam di Minangkabau
1.      Surau
Istilah Surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Hal ini menyebabkan Surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.[4]
Tatkala Islam masuk, kehadiran Surau pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanudin sebagai tempat melaksanakan shalat dan pendidikan tarekat (suluk), dengan cepat bisa terosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Kemudian, posisi Suraupun mengalami perkembangan. Selain fungsinya di atas, Surau juga menjadi tempat persinggahan bagi para perantau.[5]    
Surau yang pertama kali muncul di Minangkabau berada di daerah Ulakan-Pariaman oleh Syekh Burhanudin.[6] Melalui pendekatan ajaran tarekat (suluk) Sattariyah, Syekh Burhanudin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan ajarannya yang menanamkankan kesederhanaan, tarekat Sattariyah berkembang dengan pesat. Bahkan muridnya tidak hanya berasal dari Ulakan-Pariaman, melainkan juga berasal dari daerah lain di Minangkabau, seperti Tuanku Mansiang Nan Tuo yang mendirikan Surau di Paninjauan dan Tuanku Nan Kaciak yang mendirikan Surau di Koto Gadang. Murid-murid Syekh Burhanudin tersebut kemudian memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan Surau sebagai lembaga pendidikan bagi generasi selanjutnya. Pada perkembangannya, fungsi Surau tidak banyak mengalami perubahan, baik materi maupun sistem pendidikannya. Akan tetapi, setelah banyak ulama Minangkabau yang belajar di Makkah, mereka kemudian mengajarkan berbagai ilmu agama di Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari catatan Pakih Sagir, seorang ulama Minangkabau periode ini bahwa pada akhir abad 18, para ulama Minangkabau telah menyebarkan Islam melaui Suraunya masing-masing dengan materi pendidikan yang bermacam-macam. Tuanku di Tanah Rao mengajarkan ilmu mantiq dan ma’ani. Tuanku di Sumanik mengajarkan ilmu hadis, tafsir, dan faraidh. Tuanku di Talang mengajarkan ilmu sharaf. Tuanku di Koto Baru mengajarkan ilmu nahwu. Dengan berkembangnya berbagai ilmu agama dan kemasyhuran para ulama-ulama tersebut, maka berduyun-duyun masyarakat untuk belajar agama di Minangkabau. Bahkan ketertarikan masyarakat untuk menuntut ilmu agama, telah meluas sampai di Tanah Rao dan Teluk Rantau.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, Surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Alquran disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak, dan ibadah.   
Secara bertahap eksistensi Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan Surau pada era ini, yaitu:
a.      Pengajaran Alquran
Untuk mempelajari Alquran ada dua macam tingkatan : pertama, pendidikan rendah yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Alquran dan membaca Alquran. Disamping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal, keimanan terutama sifat 20 dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
Kedua, pendidikan atas yaitu pendidikan membaca Alquran dengan lagu, qasidah, berjanji, tajwid, dan kitab perukunan.
b.      Pengajian Kitab
Setelah menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pangajian kitab. Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa melayu. Setelah itu, baru diterangkan maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu.
Pada masa awal, kitab yang dipelajari pada masing-masing materi pendidikan masih mengacu pada satu kitab tertentu.  Setelah ulama Minangkabau yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber yang digunakan mulai mengalami pergeseran. Kitab yang digunakan pada setiap materi pendidikan sudah bermacam-macam. Terjadinya pencerahan semacam ini disebabkan karena ulama-ulama yang pulang tersebut tidak dengan tangan hampa melainkan juga dengan membawa sumber-sumber (kitab) yang banyak sekali.
Jika dianalisa, bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan Surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya yaitu lemahnya kemampuan memahami dan daya analisa kritis siswa terhadap teks. Disisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang biasa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalkannya itu.
Surau tidak hanya sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai lembaga pendidikan tarekat. Fungsi Surau yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di Minangkabau.
Ulama memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka Syekh Abdurrahman mendirikan Surau yang terkenal dengan “Surau Dagang”. Di Surau inilah Syekh Abdurrahman mengajarkan Alquran dengan berbagai macam irama dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Keadaan yang demikian itu membuat suasana semakin memanas dan membagi masyarakat menjadi 2 kubu. Kubu pertama menolak pembaharuan yang dimotori oleh kaum adat yang dibantu Kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama (Kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktek kehidupan yang sudah jauh dari nilai-nilai agama.
Surau sebagai lembaga Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh beberapa hal, pertama selama perang Padri banyak Surau yang musnah terbakar dan syekh banyak yang meninggal. Kedua Belanda mulai mengenalkan sekolah nagari. Ketiga kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktek-praktek Surau yang penuh dengan khufarat, bid’ah dan takhayul. 
Untuk menjaga eksistensinya, ulama tradisional mengadakan rapat besar di Bukittinggi tanggal 5 Mei 1930 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI). Keputusan lain dari rapat itu adalah bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam PTI harus dimodernisasi mengikuti pola yang dikembangkan kaum intelektual muda.[7]
2.      Meunasah
Merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah. Meunasah merupakan suatu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampong,desa). Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan untuk tempat belajar dan brdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Disamping itu, juga menjadi tempat bermalam para anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong.
Diantara fungsi Meunasah adalah:
a.       Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu.
b.      Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Alquran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jumat dipakai ibu-ibu untuk sholat berjamaah dhuhur yng diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan.
Dalam perkembangannya Meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama barang-barang yang tak brgerak.
 Pendidikan Meunasah ini dipimpin oleh Teungku Meunasah. Pendidikan untuk anak yatim perempuan diberikan oleh Teungku perempuan yang disebut Teungku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak Teungku Meunasah dibantu oleh beberapa muridnya yang lebih cerdas yang disebut sida.


3.      Pesantren
Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pedan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodjo, “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.”
Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kyai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran.
Disisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur keseimbangannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama. Diantara karakteristik pesantren itu dari segi:
a.       Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren hanya mengajarkan agama sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam Bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Alquran dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah:
1)      Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran.
2)      Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinnya.
3)      Mtode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.
b.      Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
c.       Fungsi Pesantren
            Pesantren juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan nonformal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jamaah.
d.      Kehidupan Kyai dan Santri
Menurut Zamakhsyari Dhofir,”kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam.” Tegasnya kyai adalah tempat bertanya atau sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasehat dan fatwa.
            Pesantren dapat dibedakan menjadi dua corak, yaitu pertama pesantren tradisional. Pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Kedua, pesantren modern. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Pengembangan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan bahasa Inggris) sangat ditekankan.
4.      Madrasah
Sejarah dan perkembangan madrasah di bagi menjadi 2 periode yaitu:
a.       Periode Sebelum Kemerdekaan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru, dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan masih dapat dipertahankan serta dapat mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu:



1.      Gerakan Pembharuan Islam di Indonesia
Gerakan ini muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karl A Stenbrink dengan mengidentifikasi 4 faktor, antara lain:
a)      Keinginan untuk kembali pada Alquran dan Hadis
b)      Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
c)      Memperkuat basis gerakan sosial budaya dan politik
d)     Pembaharuan pendidikan Islam di Indonsia

2.      Respon Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Hindia Belanda
Perkembangan sekolah pada masa Hindia Belanda telah berkembang pesat dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respon terhadap tantangan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah/sekolah. Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain:
a)      Madrasah (Adabiyah School) yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang
b)      Sekolah agama (Madras School) yang didirikan oleh Syekh M. Thaib Umar di Sungayang, Batu Sangkar pada tahun 1920
c)      Madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh Zainudin Labai El Yanusiy di Padang Panjang
d)     Madrasah Muhammadiyah didirikn oleh Organisasi Muhammadiyah pada tahun 1918
e)      Arabiyah School didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas

b.      Periode Sesudah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah keberagaman di Indonesia termasuk pendidikan, khususnya madrasah. Pendidikan Islam di Indonesia masih tersisih dari sistem pendidikan nasional. Keadan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24 Maret 1975 yang tersohor itu, yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream nasional.
Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua lulusan sekola madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.[8]
C.    Organisasi yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan Islam di Minangkabau
Para pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insaf bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-seklah pertikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu:
1.      Sesuai dengan haluan politik, seperti:
a.       Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta
b.      Sekolah Serikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis
c.       Ksatrian Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung
d.      Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung
2.      Sesuai dengan tuntutan/ajaran agama (Islam), yaitu:
a.       Sekolah-Sekolah Serikat Islam
b.      Sekolah-Sekolah Muhammadiyah
c.       Sumatera Tawalib di Padang Panjang
d.      Sekolah-Sekolah Nahdatul Ulama
e.       Sekolah-Sekolah Persatuan Umat Islam (PUI)
f.       Sekolah-Sekolah Al Jami’ul Wasliyah
g.      Sekolah-Sekolah Al Irsyad
h.      Sekolah-Sekolah Normal Islam
Pada bagian berikut akan dikhususkan pembahasan tentang organisasi-organisai yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas kependidikan Islam.[9]
1)      Al-Jami’at Al-Khairiyah
Organisasi yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutupi kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal-usul. Umumnya anggota dan pimpinannya terdiri dari orang-orang yang berada, yang memunkinkan penggunaan waktu mereka untuk perkembangan organisasi tanpa mengorbankan usaha pencarian nafkah.
Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini ialah (1) pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, dan (2) pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi. Sekolah dasar Jami’at Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung, sejarah (umumnya sejarah Islam), ilmu bumi, dan sebagainya.
2)      Al-Islah Wal Irsyad
Syekh Ahmad Sukarti yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912, seorang ‘alim terkenal dalam agama sendiri bernama Al-Islah Wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme).
Pada tahun 1915 berdirilah sekolah-sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu. Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru sebagai tempat meminta fatwa ialah Syekh Ahmad Sukarti yang sebagian besar dari umurnya dicurahkan bagi penelaahan pengetahuan. Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab. 
Sekolah Al-Irsyad di Jakara lebih banyak jenisnya. Terdapat sekolah-sekolah tingkat dasar, sekolah guru, bagian takhasus (dengan pelajaran dua tahun) di mana pelajar dapat mengadakan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau bahasa. Tetapi struktur ini meminta waktu tahunan untuk dapat dibangun.
Perbaikan sekolah dimulai tahun 1924 ketika sebuah peraturan dikeluarkan bahwa hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas satu sekolah dasar yang lama belajarnya lima tahun. Sedangkan anak yang lebih dari 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas lebih tinggi, bergantung pada kemampuan yang diperlihatkannya pada ujian masuk.
Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi lain. Al-Irsyad juga mempergunakan tabligh dan pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya, ia juga menerbitkan beberapa buah buku dan pamflet-pamflet. Dengan melalui media-media ini Al-Irsyad menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam dengan berpedoman pada Alquran dan Rasulullah.
3)      Perserikatan Ulama
Perserikatan ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim.  Beliau lahir pada tahun 1887 di Ciberlang, Majalengka. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama.
KH Ahamad Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren daerah Majalengka. Kemudian ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Enam bulan setelah kembali dari Makkah pada tahun 1991 KHA Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak baik di bidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Anggotanya 60 orang, yang umumnya terdiri dari pedagang dan petani. Mereka membayar iuran masuk sepuluh sen sedang iuran mingguan lima sen, untuk dana mendirikan sebuah perusahaan tenun. Organisasi ini juga bermaksud untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak dalam bidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang Cina.
Organisasi tersebut yang kemudian diganti menjadi Perserikatan Ulama, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S Cokroaminoto (pimpinan serikat Islam). Ia disebut juga perserikatan umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Itihadiyah Islamiyah (AII), menjadi persatuan umat Islam.
Sebagaimana organisasi-organisasi lain, perserikatan ulama sejak mula berdiri, menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebaran cita-citanya. Disamping masalah-masalah organisasi, pertemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi tersebut mengutamakan sekali aspek-aspek Islam.
4)      Muhammadiyah
Salah satu organisasi Islam yang terpnting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai saat ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijah 1330 H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera” dan memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuan itu adalah dengan:
a)      Megadakan dakwah Islam
b)      Memajukan pendidikan dan pengajaran
c)      Menghidup-suburkan masyarakat tolong-menolong
d)     Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf
e)      Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti
f)       Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam
g)      Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat
Diantara sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya adalah:
a)      Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta
b)      Mua’allimin Muhammadiyah Solo, Jakarta
c)      Mua’allimat Muhammadiyah Yogykarta
d)     Zu’amma/Za’immat Yogyakarta
e)      Kulliyah Mubalighin/Mubalighat Padang Panjang (Sumatra Tengah)
f)       Tabligh School Yogyakarta
g)      HIK Muhammadiyah Yogyakarta
Banyak lagi HIS Muhammadiyah, Mulo, AMS Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Sanawiyah/Wusta Muhammadiyah dan lain-lain. Semuanya itu didirikan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, dan tersebar pada tiap-tiap cabang Muhammdiyah seluruh kepulauan Indonesia. Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah / madrasah-madrasah berlipat ganda banyaknya dari masa penjajahan Belnda dahulu.
5)      Nahdatul Ulama (NU)
NU didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazhab dari mazhab imam yang bermpat yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan mengajarkan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
a)      Mengadakan perhubungan di antara ulama yang bermazhab tersebut di atas
b)      Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab ahli sunnah wal jama’ah atau kitab-kitab ahli nid’ah
c)      Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada mazhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik
d)     Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam
e)      Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang fakir miskin
f)       Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidal dilarang oleh syara’ agama Islam
Demikian maksud dan tujuan dari NU. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan pengajaran Islam. Oleh sebab itu, NU mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi budi pekerti mereka. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh dan pengajian-pengajian disamping urusan sosial lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu. 
6)      Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920 an ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha untuk mengadakan pembahanan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, sungguhpun sarekat Islam telah beroperasi di kota ini semenjak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah sebuah cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi.
Memang perhatian Persis terutama ialah bagaimana menyebarkan cita-cita pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Pembaharuannya inilah yang terutama menyebarluaskannya daerah penyebaran pemikirannya. Lagi pula penerbitan ini pula dijadikan referensi oleh guru-guru dan propagandis-propagandis organisasi lain seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Dalam kegiatan Persis beruntung memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua orang tokoh yang penting yaitu, Ahmad Hasan yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan Muhammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan kaum pelajar.
Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain. Kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa mulanya juga dibatasi pada anggota-anggotanya saja. Hassan dan Zamzam mengajar pada kursus ini yang terutama membahas soal-soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik masyarakat pada waktu itu seperti, poligami dan nasionalisme juga dibicarakan.[10]
IV.             KESIMPULAN
Pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam di Minangkabau datang dari:
1.      Syekh H. Abdullah Ahmad
Pertama, tentang pemerataan pendidikan
Kedua, tentang kurikulum
Ketiga, tentang dana pendidikan
Kempat, tentang kemodernan
Kelima, tentang metode pengajaran
2.      Rahmah El-Yunusiah
Pertama, Rahmah memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Rahmah adalah orang pertama yang mendirikan sekolah khusus untuk kaum wanita.
Ketiga, beliau sangat kuat pendiriannya dalam menanamkan jiwa agama di lembaga pendidikan yang dibangunnya.
Kempat, merupakan orang yang pertama mengibarkan bendera merah putih di sekolah yang didirikannya.
Kelima, dia juga tercatat sebagai orang yang pertama kali memiliki cita-cita mendirikan Perguruan dan Rumah Sakit yang khusus untuk kaum wanita.
Kenam, memproleh penghargaan sebagai Syekh yang diberikan oleh Universitas Al-Azhar, Kairo.
3.      Syekh Ibrahim Musa Parabek
Pertama, ia memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat sesuai dengan cita-cita Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Kedua, upaya untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat Islam dilakukan dengan menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikannya.
Ketiga, ide-ide pembaruan dalam bidang pendidikan yang dibawanya banyak dipengaruhi faktor internal (bakat, kepribadian, dan minatnya untuk memajukan masyarakat yang berada di Parabek) dan faktor eksternal (pengaruh pendidikan yang dimilikinya, terutama ketika menimba ilmu di Makkah, serta faktor kolonial Belanda yang memperkenalkan model pendidikan klasikal).
Keempat, upayanya berhasil karena kedalaman ilmunya, juga karena pendekatan yang digunakannya lebih mengedepankan cara-cara yang persuasif.
Lembaga-lembaga yang bergerak dalam pendidikan Islam di Minangkabau diantaranya yaitu:
1.      Surau
2.      Meunasah
3.      Pesantren
4.      Madrasah
Sedangkan organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam di Minangkabau yaitu:
1.      Al-Jami’at Al-Khairiyah
2.      Al-Islam Wal Irsyad
3.      Perserikatan Ulama
4.      Muhammadiyah
5.      Nahdatul Ulama
6.      Persatuan Islam

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, menyadari dalam penulisan makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kami butuh kritik dan saran dari teman-teman semua untuk memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini agar menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi para pemakalah pada khususnya. Amin.















DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
1995.
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2004.
            Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. PT Raja
                        Grafindo Persada: Jakarta. 2005.       
Nizar, Syamsul. Sejarah Pendidikan Islam. Kencana: Jakarta. 2009.
Nizar, Syamsul. Sejarah dan Pergolakan Pendidikan Islam. PT Ciputat Prss Group:
Jakarta. 2005.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau. PT. Hidakarya Agung:
Jakarta. 1979.
Zuharini. Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara: Jakarta. 1995.














[1] Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005). Hlm. 15-25.  
[2] Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, ….. Hlm. 36-37.
[3] Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesi, ….. Hlm. 53.
[4] Syamsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Kncana, 2009). Hlm. 280 
[5] Syamsul Nizar, M.A. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005). Hlm. 70.   
[6]  Syamsul Nizar, M.A. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Isla, …. Hlm. 71.
[7]Syamsul Nizar, M.A. Sejarah dan Pergolakan Pendidikan Isla, ….. Hlm. 72-80.  
[8] Syamsul Nizar, M.Ag. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana). Hlm. 284-294.
[9] Zuhairini,dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Hlm. 157-159.
[10] Zuhairini,dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Hlm. 159-190.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar