Minggu, 27 Desember 2015

tugas UAS IBJ (MINI RISET)

TRADISI NYADRAN KALI DUSUN WARANGAN MAGELANG SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR
LAPORAN MINI RISET
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI


Disusun Oleh :
Qisthi Nur Hidayah
(133311005)
TM 5B

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2015

“TRADISI NYADRAN KALI DUSUN WARANGAN MAGELANG SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR”

I.                   PENDAHULUAN
Tradisi Nyadran Kali di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah merupakan tradisi turun temurun yang telah dilakukan sejak dulu sampai saat ini. Tradisi Nyadran Kali tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar lereng Merapi Dusun Warangan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta karena telah diberikan nikmat sumber air yang tidak pernah habis untuk digunakan sehari-hari. Sumber Air tersebut mengalir sangat deras dengan debit air sekitar 30 liter per detik. Hal tersebut dikatakan oleh Mas Handoko sebagai narasumber.
Sumber Mata Air yang tidak pernah habis tersebut terdapat di Kali Puyam tepatnya di Desa Jamusan yang berjarak sekitar 2,5 km dari Desa Muneng Warangan. Sedangkan nama mata air tersebut adalah Mata air Puyam. Di sekitar mata air itulah dilakukan Tradisi Nyadran Kali yang dipimpin oleh Mbah Jumo dengan melakukan berbagai macam ritual yang kemudian diikuti oleh seluruh warga sekitar.
Selain melakukan berbagai macam ritual, terdapat berbagai macam rangkaian tradisi yang dilakukan seperti kenduri warga di rumah kepala dusun setempat dan pementasan berbagai kesenian tradisional, antara lain soreng, warok, topeng ireng, pentas teatrikal, musik eksploratif oleh Kelompok Jodokemil Magelang, dan ketoprak, serta masih banyak lagi. Tetapi yang wajib dan sering dilakukan adalah tarian soreng oleh para warga sekitar. 

II.                LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Tradisi dan Nyadran
Tradisi  adalah  sebuah  kata  yang  sangat  akrab  terdengar  dan  terdapat  di segala bidang. Tradisi  menurut  etimologi  adalah  kata  yang  mengacu  pada  adat  atau  kebiasaan  yang  turun  temurun,  atau  peraturan  yang  dijalankan  masyarakat.[1] Secara  langsung,  bila  adat  atau  tradisi  disandingkan  dengan  stuktur  masyarakat  melahirkan   makna  kata  kolot,  kuno,  murni  tanpa  pengaruh,  atau  sesuatu  yang  dipenuhi  dengan   sifat takliq.
Tradisi  merupakan  sinonim  dari  kata  “budaya”  yang  keduanya  merupakan  hasil  karya.  Tradisi  adalah  hasil  karya  masyarakat,  begitupun  dengan  budaya.  Keduanya saling  mempengaruhi.  Kedua  kata  ini  merupakan  personafikasi  dari  sebuah  makna  hukum  tidak  tertulis,  dan  hukum  tak  tertulis  ini  menjadi  patokan  norma  dalam  masyarakat  yang  dianggap  baik  dan  benar.[2]
Tradisi menurut  terminologi, seperti yang dinyatakan oleh  Siti Nur  Aryani  dalam karyanya,  Oposisi Pasca Tradisi, tercantum bahwa tradisi  merupakan produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial politik yang keberadaannya  terkait dengan manusia. Atau dapat dikatakan pula  bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang turun temurun,[3] yang terjadi atas interaksi antara klan yang satu dengan klan yang lain,[4] yang kemudian membuat kebiasaan-kebiasaan satu sama lain yang terdapat dalam klan itu kemudian berbaur menjadi satu kebiasaan. Dan apabila interaksi yang terjadi semakin meluas maka kebiasaan dalam klan menjadi tradisi atau kebudayaan dalam suatu ras atau bangsa yang menjadi kebanggaan mereka.
Tradisi merupakan segala sesuatu  yang berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan. Kemudian adat, kepercayaan dan kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran  atau paham–paham yang turun temurun dari para pendahulu kepada generasi–generasi paska mereka berdasarkan dari mitos-mitos[5] yang tercipta atas manifestasi kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh klan-klan yang tergabung dalam suatu bangsa.
Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi. Budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama.[6] Kedua kata ini merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam perwujudan ide, nilai, norma, dan hukum, sehingga keduanya merupakan dwitunggal.
Sedangkan Nyadran berasal dari bahasa Sansekertasraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi nyadran dapat diartikan sebagai  satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan sarana tertentu yang biasanya berwujud makanan besekan. Sementara makanan yang biasanya harus ada saat nyadran adalah berwujud ketan, kolak, serta apem.
B.     Pengertian Ziarah dan Makam
Secara etimologi ziarah kubur terdiri dari dua kata yaitu ziarah artinya pergi dan kubur artinya makam, jadi ziarah kubur artinya adalah pergi kemakam.
Ziarah kubur merupakan satu dari sekian tradisi yang ada di Jawa dan berkembang di masyarakat Jawa. Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ke kuburan dianggap keramat sebenarnya ini terpengaruh  Jawa-Hindu. Ziarah kubur sebenarnya adalah tradisi agama Hindu yang pada masa lampau memuja terhadap roh leluhur. Candi pada awalnya adalah tempat abu jin\azah raja-raja masa lampau dan para generasi selanjutnya mengadakan pemujaan di tempat itu. Pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap sebagai titising dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan raja masih dianggap keramat termasuk makam.[7]
Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa sampai saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ziarah kuburan leluhur atau tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginanya. Misalnya berziarah ke makan tokoh yang pangkatnya tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi pula.
   Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan Ruwah menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat secara bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan saudara terdekat melakukan tradisi ziarah kubur. Kegiatan ziarah kubur ini secara umum disebut nyadran. Kata nydran berarti selamatan (sesaji) ing papang kang kramat selamatan (memberi sesaji) di tempat yang angker maupun keramat.[8]

III.              KONDISI LAPANGAN
Telah dijelaskan di pendahuluan bahwa Tradisi Nydran Kali dilakukan oleh warga Desa Muneng Warangan sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta karena telah diberikan sumber mata air yang selalu mengalir sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat saya melakukan wawancara dengan Mas Handoko selaku narasumber, banyak informasi yang saya dapatkan dari beliau mengenai Tradisi Nyadran Kali tersebut. Saya melakukan wawancara tersebut pada tanggal 12 Desember 2015, tepatnya di rumah Mas Han doko yang terletak di Desa Muneng Warangan tersebut. Mas Handoko ini adalah seorang seniman dan juga seorang guru tari. Di rumahnya banyak terdapat hiasan-hiasan, foto-foto tentang kesenian, lukisan-lukisan, alat musik, dsb. Selain seorang seniman beliau juga seorang pengrajin. Saat saya melakukan wawancara dengan Mas Handoko tersebut saya ditemani oleh Mas Andre yang juga seorang seniman. Dan Mas Andre inilah yang mengantarkan dan menemani saya sampai saya di rumah Mas Handoko, karena Mas Andre ini juga teman dekat dari Mas Handoko. 
Saat saya melakukan wawancara dengan Mas Handoko banyak informasi yang saya dapatkan. Nyadran Kali merupakan suatu tradisi turun temurun sejak dulu sampai saat ini. “Pertama kali dilakukan Nyadran Kali sekitar tahun 1970-an yang dipimpin oleh Mbah Jumo”, Ujar Mas Handoko. Asal muasal dilakukannya Nyadran Kali yaitu dulunya Desa Muneng Warangan ini kekurangan air kemudian pada suatu malam Mbah Jumo mendapatkan wangsit atau mimpi yaitu beliau harus mengambil air dari mata air Puyam di Kali Puyam Desa Jamusan. Kemudian beliau langsung melakukan hal yang terdapat dalam mimpinya tersebut. Beliau pun mengambil air dari Kali Puyam dan dialirkan ke Desa Muneng Warangan. Setelah mengambil air dari Kali Puyam tersebut Mbah Jumo dan para warga harus melakukan berbagai macam ritual sebagai ungkapan rasa syukur mereka sesuai apa yang ada di dalam mimpi Mbah Jumo tersebut. Dan akhirnya pun dilakukan lah tradisi Nyadran Kali tersebut.
Dalam pelaksanaan Nyadran Kali tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu
1.      Sebelum melakukan Nyadran Kali, malamnya harus melakukan ritual terlebih dahulu di makam.
2.      Kemudian, esok harinya prosesi pertama dilakukan di perempatan
3.      Setelah itu melakukan kirab menuju Mata Air Puyam yang jaraknya sekitar 2,5 km dari Desa Muneng Warangan.
4.      Seteelah sampai di Mata Air, kemudian dilakukan ritual lagi yang dipimpin oleh Mbah Jumo. Dalam ritual tersebut banyak sesajen yang disiapkan dan doa-doa yang diucapkan kebanyakan dalam bahasa jawa.
5.      Setelah ritual selesai barulah dilakukan kesenian Soreng. Tarian Soreng dilakukan sekitar 16-20 warga sekitar di depan mata air tersebut.
6.      Kemudian setelah tarian soreng dilakukan, semua warga termasuk Mbah Jumo kembali ke rumah Pak Kadus. Dalam perjalanan pulang di setiap perempatan dan pertigaan harus melakukan tarian soreng tersebut sampai rumah Pak Kadus.
7.      Sesampainya di rumah Pak Kepala Dusun dilakukanlah keduri oleh semua warga.
8.      Kemudian dilakukanlah berbagai macam pentas kesenian tradisional di rumah Pak Kadus tersebut. Pertama, pentas dibuka dengan tarian Soreng, kemudian disusul dengan pentas-pentas yang lain, dan yang terakhir ditutup dengan ketoprak.
9.      Selesai pementasan tersebut, kemudian Nyadran Kali ditutup dan diakhiri dengan ritual menggunakan sesajen lagi.

Pelaksanaan Nyadran Kali tersebut harus sesuai dengan urutan-urutannya yang telah dijelaskan di atas. Dalam tradisi tersebut dihadiri oleh Kepala Bidang Kesenian dan Nilai-Nilai Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupatenn Magelang Achmad Husein, Sekretaris Desa Muneng Warangan Budi Santoso, dan Kepala Dusun Warangan Ismadi. Rangkaian tradisi tersebut juga ditandai dengan adanya kenduri warga di rumah pak Kadus setempat seperti yang dijelaskan di atas, dan pementasan berbagai kesenian tradisional, antara lain soreng, warok, topeng ireng, pentas teatrikal, musik eksploratif oleh Kelompok Jodokemil Magelang dan ketoprak.
 “Tradisi Nyadran Kali baru saja dilakukan hari Rabu kemarin, tanggal 2 Desember 2015”, ujar Mas Handoko. Dan saya sudah terlambat datang untuk lebih mengetahui tentang tradisi Nyadran Kali tersebut. Dan saya hanya bisa mendapatkan informasi melalui wawancara dengan Mas Handoko, saya tidak bisa melihat dan mendokumentasikan secara langsung tradisi Nyadran kali tersebut.
Menurut Mas Handoko Tradisi Nyadran Kali ini dilakukan setiap Bulan Sapar dalam kalender Jawa, tepatnya setelah tanggal 15 Sapar, yaitu kalau tidak Rabu Kliwon ya Minggu Kliwon. Dan kebetulan kemarin dilaksanakan pada hari Rabu, 2 Desember 2015.
Dalam pelaksanaan Tradisi Nyadran Kali tersebut wajib diikuti seluruh warga sekitar mata air Kali Puyam tersebut, dan per KK nya iuran 20 rb untuk pelaksanaan Tradisi Nyadran Kali. Sumber mata air Kali Puyam tersebut hanya mengaliri desa-desa disekitarnya, diantara nya adalah Dusun Jamusan, Desa Gumelem, Kecamatan Pakis dan Dusun Kragilan, Desa Muneng Warangan. Sumber mata air tersebut hanya digunakan untuk keperluan warga sekitar. Apabila ada orang lain yang mengambil air tanpa seizin warga sekitar maka akan terjadi sesuatu pada orang tersebut. ”Sumber mata air tersebut sangatlah dijaga kebersihannya oleh para warga sekitar, tidak ada yang membuang kotoran di kali tersebut, dan juga tidak boleh mencuci kuningan di kali tersebut. Bila itu dilakukan maka bisa mati,” kata Mas Handoko.
Dan sampai saat ini tradisi Nyadran Kali tersebut belum pernah dilanggar oleh para warga, karena ditakutkan nantinya sumber air tersebut tidak akan mengalir lagi.

IV.             ANALISA LAPANGAN
Setelah saya melakukan wawancara langsung dengan narasumber dapat dianalisa bahwa Tradisi Nyadran Kali warga Desa Muneng Warangan ini sangatlah kental dan mengakar sampai saat ini. Selain tradisi Nyadran Kali tersebut masih banyak tradisi-tradisi yang dilakukan oleh warga sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa. Diantara tradisi-tadisi tersebut antara lain Aum Tandur, Aum Panen, Nyadran Makam, dll. Tradisi-tradisi tersebut masih dilakukan sampai sekarang karena bila tidak dilakukan nantinya akan terjadi malapetaka yang menimpa warga sekitar. Dengan kepercayaan mereka itu maka sampai sekarang pun para warga masih melakukan tradisi-tradisi tersebut dengan sebaik mungkin agar hidup mereka aman, damai, sejahtera, dan sentosa.
Sebenarnya tradisi-tradisi tersebut sangatlah tidak masuk akal apabila hanya dilihat dari satu sisi. Namun pada kenyataannya tradisi yang dilakukan para warga tersebut sangatlah sakral dan apabila tidak dilakukan akan ada malapetaka yang terjadi, contohnya saja Nyadran Kali. Mas Handoko pun mengatakan bahwa, pada suatu hari ada seorang penjual bakso yang mengambil air dari mata air Puyam tanpa sepengetahuan warga dan tanpa izin. Kemudian air tersebut digunakan untuk merebus air baksonya. Namun yang terjadi adalah air bakso tersebut tidak mendidih dan baksonya pun tidak matang, sehingga bakso-bakso si penjual bakso itupun tidak laku. Dan hal itu sudah menjadi suatu kepercayaan bagi para warga sekitar mata air Puyam tersebut. Mereka pun sangat menjaga mata air Puyam tersebut dengan sebaik mungkin dan tersu melakukan Tradisi Nyadran Kali sebagai ungkapan rasa syukur mereka.  
Dan dapat dianalisa juga bahwa Desa Muneng Warangan ini masih sangat kental dengan tradisi-tradisi kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang dan masih dilestarikan sapai saat ini.

V.                MAKAM MBAH KYAI KRAPYAK 1 (SANTREN)
Saya melakukan wawancara dengan Bapak Bambang selaku narasumber pada hari Rabu, tanggal 12 Desember 2015 mengenai makam Mbah Kyai Krapyak 1 ini. Saya melakukan wawancara dan observasi ke makam tersebut setelah saya melakukan wawancara mengenai tradisi Nyadran Kali yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Setelah saya melakukan wawancara dengan Bapak Bambang, banyak informasi yang saya dapatkan mengenai makam Mbah Kyai Krapyak yang terkenal di daerah Santren, Gunung Pring, Muntilan, Magelang ini. Berikut ini akan dijelaskan sedikit silsilah mengenai mbah Kyai Krapyak 1 ini.
Menurut informasi yang saya dapatkan dari Bapak Bambang, bahwa terdapat 2 jalur silsilah, yang pertama yaitu melalui jalur Ki Ageng Pemanahan yang mempunyai 2 anak yaitu Panembahan Senopati yang menjadi Raja Mataram pada tahun 1500 M dan Raden Santri. Karena Raden Santri ini memiliki sifat yang aneh sejak kecilnya maka yang dijadikan Raja Mataram adalah Panembahan Senopati, sedangkan Raden Santri memilih untuk pergi berdakwah, meskipun sebelumnya beliau juga pernah menjadi Panglima Perang dari Panembahan Senopati. Setelah itu, Panembahan Senopati memiliki anak yaitu Raden Mas Jolang (Pangeran Sedo Krapyak). Pangeran Sedo Krapyak ini memiliki 2 anak laki-laki dari istri yang berbeda. Anak yang pertama yaitu Raden Mas Wuriah yang terkenal dengan Simbah Kyai Krapyak. Sedangkan anak keduanya yaitu Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Sebelumnya Pangeran Sedo Krapyak pernah berjanji, jika ia mempunyai anak laki-laki maka akan dijadikannya raja, dan ternyata ia memiliki 2 anak laki-laki. Dan yang dijadikan raja yaitu Raden Mas Wuriah karena ilah anak laki-laki pertamanya. Namun, Raden Mas Wuriah ini hanya menjadi raja sehari karena sifatnya yang sangat berbeda dengan orang lain. Karena hal itu, maka Raden Mas Wuriah pun digantikan oleh Raden Mas Rangsang, dan kemudian beliau dititipkan kepada kakeknya yaitu Simbah Raden Santri. Di sana beliau belajar banyak ilmu agama, dan akhirnya beliau menjadi seorang Auliya’ (Wali Allah) karena dari kecil sifatnya memang sudah berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Beliau memiliki banyak santri yang setia dan selalu taat padanya. Kemudian Raden Mas Wuriah atau yang terkenal dengan Mbah Kyai Krapyak 1 ini dimakamkan di Santren. Dan di sana terdapat Masjid Kyai Krapyak 1 yang merupakan Masjid Tiban / hadiah (hibah) dari Sultan Agung kepada Mbah Kyai Krapak. Masjid tersebut terletak bersebelahan dengan Makam Mbah Kyai Krapyak 1 yang berada di daerah Santren, Gunung Pring, Muntilan, Magelang.
Untuk jalur yang kedua yaitu melalui Amangkurat Mas memiliki anak bernama Mbah Hasan Tuko (Raden Mas Kemuning) yang dimakamkan di Godean kemudian punya anak Mbah Abdul Rouf Watucongol yang dimakamkan di belakang Santren kemudian punya anak Abdul Rohman yang dimakamkan di Gunung Pring kemudian mempunyai anak Mbah Dalhar Watucongol yang dimakamkan di Gunung Pring, kemudian punya anak Mbah Mad Watucongol yang dimakamkan di belakang Santren. Untuk jalur yang kedua ini tidak begitu akurat.
Makam Mbah Kyai Krapyak ini dijadikan tempat ziarah bagi warga sekitar, masyarakat umum, para kyai dan santri, serta pengikut-pengikutnya. “Saat berziarah mereka bertabarukan (ngalap berkah) dengan cara berwasilah/tawasul kepada Allah SWT dengan perantara orang yang dikasih Allah (Wali Allah)”, ujar Pak Bambang.
Makam Mbah Krapyak ini sangatlah ramai dikunjungi pada bulan Syawal dan sepi pengunjung saat bulan Ramadhan. Para peziarah datang berbondpng-bondong untuk berziarah, dengan cara berdoa, membaca Al-Quran, tahlil, menharapkan berkah dari Allah SWT. 














VI.             KESIMPULAN DAN PENUTUP
Setelah melakukan wawancara langsung dengan Mas Handoko mengenai Tradisi Nyadran Kali di Dusun Warangan Desa Muneng Warangan Kab. Magelang Jawa Tengah, maka dapat disimpulkan bahwa warga sekitar melakukan tradisi tersebut sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta. Para warga sangat menjaga dengan hati-hati sumber mata air Puyam yang menjadi sumber kehidupan mereka sehari-harinya. Tanpa adanya sumber air tersebut mungkin selamanya mereka akan kekurangan air. Maka dari itu, mereka sangatlah menjaga sumber mata air tersebut dengan melakukan tradisi Nyadran Kali yang sudah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang.
Selain Tradisi Nyadran Kali, tradisi berziarah juga merupakan hal yang sangat kental dilakukan oleh umat muslim. Mereka melakukan ziarah untuk mendapatkan berkah dari Allah SWT dan juga sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Jadi, terdapat keterkaitan antara tradisi budaya Jawa dengan tradisi Islam yaitu sama-sama dilakukan untuk mendapatkan berkah dari Sang Pencipta dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, meskipun dilakukan dengan cara yang berbeda.
Semoga laporan yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi penulis. Dan penulis sangat mengharapan kritik dan saran yang membangun dari para pebaca untuk memperbaiki tulisan-tulisan penulis selanjutnya. Terimakasih.












VII.          DAFTAR PUSTAKA
Alexander Dante Vorhess, Wikipedia Free Enciclopedy: Myth,Culture and a pride of Nation,(online). (http//www.Wikipedia.com di akses 5 desember 2015). Lihat pula dalam Cervantes De Leon. Ogdru-eb jahd : History of Hispanian Myth.(online). (http//www.deity.com di akses tanggal 5 desember 2015). Bandingkan dengan  E.E. Evans Pritchard. Theories of Primitive Religion. Januari 1984. Cet.-1 Yogyakarta. PLP2M.
Ariani, Christriyati. 2002. Motivasi Peziarah. Yogyakarta: Putra –Widya.
Drs. Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Cet-2 Jakarta: Rineka Cipta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa. 2001. Ed-3. Cet-1. Jakarta : Balai Pustaka.
Liha, Eddy Soetrisno. Kamus Populer Bahasa Indonesia. Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media.
WJS . Poerwasarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia.
















VIII.       BIODATA MAHASISWA
Nama         : Qisthi Nur Hidayah
Kelas         : TM 5B
NIM          : 133311005
Prodi         : MPI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
TTL           : Pekalongan, 24 Februari 1995
Alamat      : Perumnas Kalinegoro, Jl. Manggis 1 no 13, Kec. Mertoyudan, Kab.      Magelang, Jawa Tengah.
Riwayat
Sekolah     : SD N Kalinegoro 3 Mgelang, MTs N Magelang, SMA N 4 Magelang.
Email         : qistyndul@gmail.com
Blog          : Qisthinur.blogspot.com
No. Hp      : 089631305622

IX.             LAMPIRAN
Tradisi Nyadran Kali (sejumlah warga membawa nasi tumpeng)
http://dc618.4shared.com/img/mV8qMy7Wba/s7/1516ad31488/Tradisi_nyadran?async&rand=0.27342236986226953
Silsilah Mbah Kyai Krapyak 1 (Santren)
Masjid dan Makam Mbah Kyai Krapyak 1 (Santren)








[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia: Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa, Ed-3. Cet-1, Jakarta : Balai Pustaka, 2001, hlm. 1208. 
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia: Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa, Ed-3. Cet-1, Jakarta : Balai Pustaka, 2001, hlm. 1208.
[3] Eddy Soetrisno liha, Kamus Populer Bahasa Indonesia, Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media, hlm. 209.
[4] Drs. Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Cet-2 Jakarta: Rineka Cipta, hlm.166.
[5] Alexander Dante Vorhess, Wikipedia Free Enciclopedy: Myth,Culture and a pride of Nation,(online). (http//www.Wikipedia.com di akses 5 desember 2015). Lihat pula dalam Cervantes De Leon. Ogdru-eb jahd : History of Hispanian Myth.(online). (http//www.deity.com di akses tanggal 5 desember 2015). Bandingkan dengan  E.E. Evans Pritchard. Theories of Primitive Religion, Cet.-1 Yogyakarta, PLP2M, Januari 1984, hlm.26-62.
[6]  Drs. Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, Cet-1.Dunia Pustaka Jaya, 1995, hlm. 53.

[7] Christriyati Ariani, Motivasi Peziarah, Yogyakarta: Putra –Widya, 2002.
[8] WJS . Poerwasarminta, Baoesastra Djawa, Batavia, 1939.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar