Rabu, 17 Juni 2015

kumpulan makalah KI 3A


METODE PENDIDIKAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits
Dosen Pengampu : Titik Rahmawati, M.Ag


Disusun Oleh :
Fina Kholilatul Janah                       (133311001)
Qisthi Nur Hidayah                         (133311005)
Ilyas Nurfaozan                               (133311013)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



I.       PENDAHULUAN
Upaya umat Islam dalam menjelaskan sikap islam atau Rasul SAW, mengenai suatu masalah  harus berpegang pada hadis shahih dan hasan bukan pada hadis dhaif, apa lagi pada hadis maudlu.[1]
Memang boleh jadi manusia saat hidup mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarkan untuk menolak kehadiran Tuhan dan meninggalkan kepercayaanya, tetapi ketika itu keraguannya akan  beralih menjadi kegelisahan, khususnya pada saat ia merenung tentang fitrahnya sebagai menusia.
Hakekat fitrah keimanan sebagai petunjuk bagi orang tua agar lebih mengarahkan fitrah yang dimiliki anak secara bijaksana. Di sampingitu, ayatdanhadisNabi saw mengandungimplikasibahwafitrahmerupakansuatupembawaanmanusiasejaklahir, danmengandungnilai-nilai religious dankeberlakuannyamutlak. Di dalamfitrahmengandungpengertianbaik-buruk, benar-salah, indah-jelekdanseterusnya.

II.    RUMUSAN MASALAH

A.    Apa Pengertian Fitrah Manusia ?
B.     Bagaimana Hadis Tentang Setiap Manusia lahir dalam Keadaan Fitrah ?
C.     Bagaimana Fitrah Manusia Menurut Teori Nativisme,Empirisme, dan Konvergensi?
D.    Bagaimana Konsep Fitrah Manusia Menurut Pandangan Islam?
E.     Bagaimana Fitrah manusia dalam perspektif pendidikan?

III. PEMBAHASAN

A.    Pengertian Fitrah Manusia
Dalam pengertian yang sederhana istilah fitrah sering dimaknai suci dan potensi. Secara etimologis, asal kata fitrah berasal dari bahasa Arab, yaitu fitrah (فطرة) jamaknya fithar (فطر), yang suka diartikan perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan.[2]
Menurut Muhammad Quraish Shihab, istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang berarti belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.[3]
Fitrah manusia berbeda dengan watak atau tabi'at. Juga berbeda dengan naluri/garizah. Watak atau tabi'at adalah sifat dasar, seperti kalimat watak oksigen adalah mudah terbakar. Jadi watak adalah karakteristik yang terdiri dari pada bentuk, dan materi (mâddah). Inilah yang merupakan watak atau tabi'at suatu benda. Sedangkan naluri atau garizah adalah sifat dasar. Sifat dasar ini bukan muktasabah (bukan diperoleh). Misalnya, anak kuda begitu lahir langsung bisa berdiri. Semut, meskipun binatang kecil namun mampu mengumpulkan makanan. Inilah yang disebut naluri atau garizah. Dalam naluri tidak terdapat kesadaran yang penuh. Untuk binatang, fitrah ini disebut naluri. Fitrah sama dengan watak (tabi'at) dan naluri ini juga bukan diperoleh melalui usaha (muktasabah). Bukan pula karena khuduri (perolehan). Istilah fitrah lazimnya untuk manusia, naluri lazimnya untuk hewan, dan watak lazimnya untuk benda.[4]

B.     Hadis Tentang Fitrah Manusia
Riwayat al-Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata) Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri (yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.

Mufrodat :
أَخْبَر : memberi kabar
مَوْلُود : lahir
يُولَد : anak
فِطْرَة : suci
النَّاسَ : manusia
تَبْدِيلَ : perubahan

Pengertian fitrah yang lainnya menurut Sunnah adalah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:

لَيْسَ مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتّىٰ يُعَبِّرَعَنْهُ لِسَانُهُ.
Artinya: Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya, sehingga lidahnya memalingkan padanya. (HR. Muslim dari Mu'awiyah).

Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian fitrah tersebut ialah suci atau potensi, bahwa manusia lahir dengan membawa perwatakan (tabiat) atau potensi yang berbeda-beda. Watak itu dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubarinya yang dapat menghantarkan pada ma'rifat kepada Allah. Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya, ia dapat membedakan antara iman dan kafir karena ujud fitrah adalah qalb (hati) dapat menghantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apa pun, sedangkan syetan hanya dapat membisikkan kesesatan sewaktu anak telah mencapai usia akil balig.

C.     Fitrah Manusia Menurut Teori Nativisme,Empirisme, dan Konvergensi
1.      Teori Nativisme
Schoupenhauer dan Arnold Gessel (tokoh Teori Nativisme) berasumsi bahwa setiap individu (anak) dilahirkan ke dunia dengan membawa faktor-faktor turunan (hereditas) yang berasal dari orang tuanya, dan faktor turunan tersebut menjadi faktor penentu perkembangan individu.[5] 
Pembawaan-pembawaan itu tidak akan dapat diubah oleh kekuatan luar (lingkungan). Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran ini berpandangan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat internal pada anak didik sendiri. Dengan kata lain, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Pendidikan yang tidak sesuai dengan pembawaan atau bakat anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebenarnya tidak diperlukan, dan inilah yang disebut sebagai pesimisme pedagogis.[6]

2.      Teori Empirisme
Teori ini bertentangan dengan teori pertama,John Locke menyatakan bahwa perkembangan pribadi manusia ditentukan oleh faktor-faktor alam lingkungan, termasuk pendidikan. Ibaratnya adalah tiap individu manusia lahir bagaikan kertas putih yang siap diberi warna atau tulisan oleh faktor lingkungan.[7]
Dengan demikian anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Dengan kata lain, hanya pendidikan (atau lingkungan) yang berperan atas pembentukan anak.

3.      Teori Konvergensi
Teori ini berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor keturunan (hereditas) maupun oleh faktor lingkungan/pengalaman.
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial.[8]

D.    Konsep Fitrah Manusia Menurut Pandangan Nasrani dan Islam

1.      Menurut pandangan Nasrani
Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir dengan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal sebagai akibat dari perbuatan durhaka Adam.
Dosa waris dapat dikatakan sebagai status yang didapat karena dilahirkan menurut kedagingan (adanya hubungan suami istri) dimana setiap orang yang dilahirkan secara kedagingan adalah keturunan dari Adam dan Hawa yang telah jatuh kedalam dosa awal. Hal inilah yang membuat Adam menjadi perwakilan dari setiap orang yang lahir menurut daging, maka setiap manusia dinyatakan berdosa dihadapan Tuhan secara status. Yang diperlukan adalah lahir baru, yaitu lahir dari air dan Roh karena apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging dan apa yang dilahirkan oleh Roh, adalah Roh. Jadi pada dasarnya manusia yang dilahirkan secara kedagingan akan memiliki kecenderungan melakukan sesuatu yang tidak baik karena secara status manusia sudah dikuasai oleh kuasa dosa karena kehidupan yang tidak berdasarkan kepada perintah Tuhan sehingga pada akhirnya akan melakukan perbuatan dosa yang dimulai dari kecenderungan berbuat dosa ini meskipun ingin melakukan perbuatan yang dianggap baik.
Adam dan Hawa melakukan kesalahan awal, yaitu memberontak terhadap perintah Tuhan agar tidak memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat, karena jika memakan, mereka akan mati saat itu juga dan efek dari memakan buah tersebut langsung terjadi saat itu juga, mereka mati (secara rohani), mereka tidak lagi dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhan bahkan mereka melakukan bahkan mereka saling melempar kesalahan dan tanggung jawab inilah awal dari efek dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa dan juga sebagai awal dari penderitaan fisik manusia hidup di dunia yaitu, bersusah payah waktu mengandung dan kesakitan waktu melahirkan, bersusah payah mencari rezeki dan berpeluh mencari makanan serta akan mengalami kematian fisik.
Penderitaan-penderitaan fisik ini tidak akan dirasakan oleh manusia jika Adam dan Hawa tidak memberontak terhadap perintah Tuhan dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, kesemuanya merupakan akibat dari perbuatan Adam dan Hawa sendiri, kesemuanya menerangkan bahwa penderitaan-penderitaan tersebut tidak diciptakan oleh Tuhan melainkan akibat ulah dan pilihan dari manusia sendiri karena semua yang diciptakan Tuhan itu sungguh baik . Tuhan itu adil, sehingga ia memberikan hukuman kepada Adam dan Hawa dengan mengusir mereka dari taman eden, tapi tuhan itu juga adalah kasih, karena itu Tuhan membuatkan pakaiaan dari kulit binatang dan mengenakan pakaian tersebut kepada manusia.

2.      Menurut pandangan Islam
Fitrah dalam hubungannya dengan lingkungan ketika mempengaruhi perkembangan manusia tidaklah netral, sebagaimana pandangan empirisme yang menganggap bayi yang baru lahir sebagai suci bersih dari pembawaan (potensi) baik dan buruk.
Bagi Islam, manusia lahir dengan membawa suatu fitrah dengan kecenderungan yang bersifat permanen. Fitrah akan berinteraksi secara aktif dan dinamis dengan lingkungan dalam proses perkembangan manusia. Menurut Hasan Langgulung, fitrah itu dapat dilihat dari dua penjuru. Pertama, dari segi pembawaan manusia, yakni potensi mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Kedua, fitrah dapat juga dilihat dari segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya (agama tauhid; Islam). Jadi, potensi manusia dan agama wahyu adalah satu “benda” (fitrah) yang dapat diibaratkan mata uang dua sisi. Ini bermakna bahwa agama yang diturunkan Allah melalui wahyu kepada para nabi-Nya adalah sesuai dengan fitrah atau potensi (sifat-sifat) asasi manusia. Dari apa yang dikemukakan Hasan Langgulung tersebut dapat dipahami bahwa fitrah itu berorientasi kepada kebaikan. Dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah baik atau memiliki kecenderungan asasi untuk berkembang ke arah yang baik. Baik menurut Islam adalah bersumber dari Allah Swt., bersifat mutlak. Tidak sebagaimana pandangan aliran-aliran sekuler Barat yang berpandangan bahwa baik adalah suatu yang bersifat relatif dan bersumber pada manusia (anthroposentrisme). Dalam kaitannya dengan pendidikan, meskipun konsep tentang fitrah mirip dengan naturalisme yang menganggap manusia pada dasarnya baik, tetapi Islam tidak berpandangan negativis dalam pendidikan. Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, seorang pendidik muslim selain berikhtiar untuk menjauhkan timbulnya pelajaran melakukan kebiasaan yang tidak baik, juga mesti berikhtiar menanamkan tingkah laku yang baik, karena fitrah itu tidak berkembang dengan sendirinya.[9]

3.      Menurut pandangan Nasrani
Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir dengan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal sebagai akibat dari perbuatan durhaka Adam.
Dosa waris dapat dikatakan sebagai status yang didapat karena dilahirkan menurut kedagingan (adanya hubungan suami istri) dimana setiap orang yang dilahirkan secara kedagingan adalah keturunan dari Adam dan Hawa yang telah jatuh kedalam dosa awal. Hal inilah yang membuat Adam menjadi perwakilan dari setiap orang yang lahir menurut daging, maka setiap manusia dinyatakan berdosa dihadapan Tuhan secara status. Yang diperlukan adalah lahir baru, yaitu lahir dari air dan Roh karena apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging dan apa yang dilahirkan oleh Roh, adalah Roh. Jadi pada dasarnya manusia yang dilahirkan secara kedagingan akan memiliki kecenderungan melakukan sesuatu yang tidak baik karena secara status manusia sudah dikuasai oleh kuasa dosa karena kehidupan yang tidak berdasarkan kepada perintah Tuhan sehingga pada akhirnya akan melakukan perbuatan dosa yang dimulai dari kecenderungan berbuat dosa ini meskipun ingin melakukan perbuatan yang dianggap baik.
Adam dan Hawa melakukan kesalahan awal, yaitu memberontak terhadap perintah Tuhan agar tidak memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat, karena jika memakan, mereka akan mati saat itu juga dan efek dari memakan buah tersebut langsung terjadi saat itu juga, mereka mati (secara rohani), mereka tidak lagi dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhan bahkan mereka melakukan bahkan mereka saling melempar kesalahan dan tanggung jawab inilah awal dari efek dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa dan juga sebagai awal dari penderitaan fisik manusia hidup di dunia yaitu, bersusah payah waktu mengandung dan kesakitan waktu melahirkan, bersusah payah mencari rezeki dan berpeluh mencari makanan serta akan mengalami kematian fisik.
Penderitaan-penderitaan fisik ini tidak akan dirasakan oleh manusia jika Adam dan Hawa tidak memberontak terhadap perintah Tuhan dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, kesemuanya merupakan akibat dari perbuatan Adam dan Hawa sendiri, kesemuanya menerangkan bahwa penderitaan-penderitaan tersebut tidak diciptakan oleh Tuhan melainkan akibat ulah dan pilihan dari manusia sendiri karena semua yang diciptakan Tuhan itu sungguh baik. tuhan itu adil, sehingga ia memberikan hukuman kepada Adam dan Hawa dengan mengusir mereka dari taman eden, tapi tuhan itu juga adalah kasih, karena itu Tuhan membuatkan pakaiaan dari kulit binatang dan mengenakan pakaian tersebut kepada manusia.

E.     Fitrah manusia dalam perspektif pendidikan

Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya, sejak lahir manusia telah dibekali oleh Allah SWT dengan berbagai potensi, baik potensi jasmani, rohani dan lainnya, disamping itu Allah juga membekali manusia dengan kemampuan berpikir supaya dapat mengembangkan segala potensi yang telah di anugerahkan oleh Allah dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, persoalan tentang manusia akan tetap menarik untuk diteliti dan dikaji oleh umat manusia sepanjang zaman.
Suatu hal yang harus diketahui untuk mengetahui esensi dan eksistensi kehidupan manusia adalah fitrah. Fitrah mempunyai peran tersendiri memiliki kesan yang sangat vital untuk dijadikan dasar mengenal manusia, karena salah satu tatanan nilai yang ada pada diri manusia, bersifat orisinal, alamiah, dan hadir bersama hadirnya jasmaniah dan rohaniah diri manusia itu sendiri.
Pengenalan terhadap fitrah manusia diawali dengan mengetahui konsep kelahiran manusia dari unsur lahiriah maupun unsur batiniah. Unsur batiniah yang memiliki perangkat kemampuan dasar inilah yang disebut fitrah,yang dalam bahasa psikologi disebut personalitas atau disposisi, atau dalam psikologi behaviorisme disebutpropotence reflexes, yaitu kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang.[10]
Sementara itu dalam tinjauan normatif, fitrah dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 30, sebagai berikut:
óOÏ%r'sùy7ygô_urÈûïÏe$#Ï9$ZÿÏZym4|NtôÜÏù«!$#ÓÉL©9$#tsÜsù}¨$¨Z9$#$pköŽn=tæ4ŸwŸ@ƒÏö7s?È,ù=yÜÏ9«!$#4šÏ9ºsŒÚúïÏe$!$#ÞOÍhŠs)ø9$# ÆÅ3»s9uruŽsYò2r&Ĩ$¨Z9$#ŸwtbqßJn=ôètƒÇÌÉÈ
Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Allah telah menciptakan semua makhluknya berdasarkan fitrahnya. Surat Al Ruum ayat 30, telah menginspirasikan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan fitrah atau potensi itu dengan baik dan lurus. Fitrah Allah untuk manusia, berupa potensi dan kreativitas yang dapat dibangun dan membangun, yang memiliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga kemampuannya jauh melampaui kemampuan fisiknya Maka diperlukan suatu usaha-usaha yang baik yaitu pendidikan yang dapat memelihara dan mengembangkan fitrah serta pendidikan yang dapat membersihkan jiwa manusia dari syirik, kesesatan dan kegelapan menuju ke arah hidup bahagia yang penuh optimis dan dinamis.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwasanya antara manusia, fitrah dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat signifikan. Sebab manusia yang baru dilahirkan adalah dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak dapat mengurus dirinya sendiri tanpa ada bantuan dan bimbingan orang lain yang kita kenal dengan istilah pendidikan.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Murtadho Mutohhari, bahwa secara khusus fitrah mempunyai hubungan kekerabatan dengan pendidikan. Sebab fitrah terdapat dalam diri manusia, yang oleh Ahmadi dikatakan fitrah itu masih merupakan pola dasar atau sifat-sifat asli, maka fitrah itu baru memiliki arti bagi kehidupan manusia setelah dikembangkan secara wajar dan optimal.
Manusia secara hakikatnya yang ditinjau dari kualitas dan kuantitas dalam pandangan pendidikan islammerupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek fisik/jasmani, dan psikis/rohani yang dibekali oleh Allah dengan berbagai potensi yang harus dibina dan dikembangkan dalam kehidupannya. Unsur tersebut telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi
Sementara dari segi fungsi dan kedudukan manusia adalah makhluk fungsional yang mempunyai tanggung jawab dalam hidupnya. Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya. Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat. Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap yang menciptakan dan yang mengasuhnya, yang mana semua fungsi dan tugas yang dijalankan manusia akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Dengan kelengkapan dua aspek jasmani dan rohani serta potensi  yang diberikan Allah sebagai fitrah manusia, manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Dan di sini manusia memerlukan bimbingan,binaan dan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral, agar kedua aspek tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif.
Fitrah pada hakikatnya merupakan keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia berupa kemampuan dasar dan potensi yang dapat dikembangkan olehmanusia yang di dalamnya terkandung berbagai komponen biologis dan psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Potensi tersebut bersifat kompleks yang terdiri atas : ruh (roh), qalb (hati), ‘aql (akal), dan nafs (jiwa). Potensi-potensi tersebut bersifat rohaniah atau mental - psikis. Selain itu manusia juga dibekali potensi fisik - sensual berupa seperangkat alat indera yang berfungsi sebagai instrumen untuk memahami alam luar dan berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian fitrah merupakan konsep dasar manusia yang ikut berperan dalam membentuk perkembangan manusia di samping lingkungan (pendidikan).
Fitrah yang bersifat potensial tersebut harus dikembangkan secara faktual dan aktual. Untuk melakukan upaya tersebut, Islam memberikan prinsip-prinsip dasarnya berupa nilai-nilai Islami sehingga pertumbuhan potensi manusia terbimbing dan terarah. Dalam proses inilah faktor pendidikan sangat besar peranannya bahkan menentukan bentuk corak kepribadian seseorang. Nampaknya itulah yang menjadikan Nabi Muhammad mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu.
Islam telah menempatkan pendidikan sebagai sebuah proses pembentukan dan pengembangan potensi manusia seutuhnya. Untuk dapat mengembangkan potensi manusia secara maksimal pendidikan Islam hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan manusia serta penanaman nilai-nilai fundamental sebagai dasar pembentukan kepribadian manusia. pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani maupun rohani, intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya.
Dengan ini, pendidikan Islam akan mampu membantu peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimiliknya. Mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media yang menstimulasi bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai ‘abdillah maupun khalifah.[11]

IV. KESIMPULAN



V.    PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Dalam penyusunan makalah ini, kami masih banyak menglami kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau refrensi. Kami berharap bagi pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun, demi sempurnanya makalah ini di penulisan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, amin.


[1] Yusuf Qardawi, Keutamaan Ilmu dalam Islam, Jakarta: Pustaka PanjiMas, 1993, hlm., 3
[2]Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hlm. 215
[3]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‘an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 283.    
                [4]Murtadha Muthahhari, Fitrah (Jakarta: Paramadina, 1989), hlm. 17-20

[5]http://bumipanritakitta.blogspot.com/2013/01/hadis-nabi-tentang-fitrah-dan.html
[6] http://drbudimanma.blogspot.com/2014/01/judul-perspektif-filsafat-pendidikan.html
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Ai-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,(Bandung: Mizan, 2007), hlm., 19
[8]http://itarizki.blogspot.com/2011/04/fitrah-manusia-dan-implikasinya.html
[9]http://drbudimanma.blogspot.com/2014/01/judul-perspektif-filsafat-pendidikan.html

[10]Chalidjah Hasan, Dimensi-DimensiPsikologi Islam, (Surabaya : al Ikhlas, 1994) hal 35.
[11]Maimunah Hasan, Membangun Kreativitas Anak Secara Islam)Yogyakarta : Bintang Cemerlang, 2002( hal. 9






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nasih Munjin, Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung : Refika Aditama, 2009.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Kumpulann Hadist Shahih Bukhari dan Muslim, Semarang : PUSTAKA NUUN, 2012.
Juwariyah, Hadist Tarbawi, Yogyakarta : TERAS, 2010.
Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis Paikem, Semarang : RaSAIL Media Group, 2011.
http://m.manjaddawajadda.abatasa.co.id/post/detail/26348/my-education.htm diakses pada 24-9-2014 pukul 02.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar